Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mengkaji kebijakan pengendalian margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan yang masih tinggi dan terus naik.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan kajian tersebut dilakukan untuk mendorong transparansi informasi terkait suku bunga kredit oleh perbankan.
“Kebijakan ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengendalikan NIM perbankan saat ini,” katanya dalam jawaban tertulis, Sabtu (5/8/2023).
Rasio bunga bersih atau NIM adalah selisih antara suku bunga kredit yang diberikan perbankan dengan suku bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana pihak ketiga dalam bentuk simpanan atau pinjaman dana dari pihak lainnya. Semakin besar angka NIM mengindikasikan bahwa potensi keuntungan perbankan dari dana yang disalurkan semakin besar.
Lebih lanjut, Dian mengungkapkan terus mendorong upaya digitalisasi di sektor perbankan, khususnya dalam memperluas jangkauan layanannya kepada masyarakat agar suku bunga kredit menjadi lebih kompetitif melalui mekanisme pasar.
“Pemanfaatan data yang antara lain dapat bersumber dari Sistem Layanan Informasi Keuangan [SLIK] dan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan [LPIP] sebagai upaya untuk mengurangi asimetris informasi antara bank kepada debitur,” ungkap Dian.
Sebelumnya, kabar soal marjin bunga bersih atau NIM perbankan di Indonesia memang telah tersiar dan sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Sebelum masuk ke sini tadi saya tanya ke pak ketua [OJK], NIM nya berapa sih? Di jawab oleh Pak Mahendra sebesar 4,4 persen. Tinggi banget, ini mungkin tertinggi di dunia," pungkas Jokowi saat menyampaikan pidato pembukanya dalam acara PTIJK 2023, Senin (6/2/2023).
Melansir dari Statistik Perbankan Indonesia, posisi NIM industri perbankan pada Mei 2023 berada pada level 4,79 persen, naik dibanding periode yang sama tahun lalu yang berada di level 4,67 persen.
Adapun, di antara negara-negara kawasan Asean, NIM bank RI tersebut terbilang tinggi. Posisinya berada di urutan kedua setelah Kamboja yang NIM-nya mencapai 5,35 persen.
Kondisi NIM Sejumlah Bank
Berdasarkan laporan keuangan semester I/2023 masing-masing bank, sejumlah bank mencatatkan NIM yang tinggi. PT Bank Jago Tbk. (ARTO) misalnya mencapai 10,46 persen pada Juni 2023. Angka ini telah turun dari 10,83 persen pada Juni 2022.
Tak hanya itu, bank digital besutan kongsi crazy rich Chairul Tanjung, grup Salim, hingga PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA), yakni PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) mencatatkan NIM tinggi sebesar 8,52 persen pada paruh pertama 2023, naik 346 basis poin (bps) dibandingkan dengan periode sama tahun lalu 5,06 persen pada semester I/2022.
Karyawan melayani nasabah di kantor cabang PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) di Jakarta, Senin (6/3/2023). Bisnis/Abdurachman
PT Bank Neo Commerce Tbk. (BYBB) pun melaporkan NIM sebesar dari 10,16 persen pada Juni 2022 menjadi 16,15 persen. Hal yang sama juga berlaku di PT Bank Amar Indonesia Tbk. atau Amar Bank yang menyebut NIM perbankan berada pada level 17,33 persen, naik 234 bps dari posisi sebelumnya 14,99 persen.
Bank jumbo pun mengalami kenaikan NIM, meski tak sebesar bank digital. Seperti, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang mencatatkan kenaikan NIM 58 basis poin (bps) menjadi ke level 5,56 persen pada Juni 2023.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) pun mencatat NIM sebesar 5,30 persen pada Juni 2023 dari yang awalnya 5,06 persen pada Juni 2023. Lalu, NIM PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) yang mencatat kenaikan menjadi 4,58 persen pada semester I/2023 dari 4,70 persen pada semester I/2022
Tak ketinggalan, PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) yang mencatat margin bunga bersih naik 7 basis poin (bps) ke level 4,61 persen pada Juni 2023 dari level 4,54 persen pada Juni 2022.
Layaknya Dua Sisi Mata Pisau
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyebut NIM yang tinggi layaknya pisau bermata dua.
“Kalau dari pro ini tentu saja menunjukkan kinerja bank Tanah Air dan industrinya sehat. Lalu, pertumbuhan NIM perbankan di Indonesia menjadi salah satu daya tarik bagi investor, terutama investor asing,” ujarnya pada Bisnis, Minggu (6/8/2023).
Menurutnya, ini menunjukkan seberapa berat kondisi ekonomi yang ada di Indonesia atau bahkan kondisi global ekonomi yang memberikan dampak ke Indonesia, setidaknya bank di Indonesia masih stabil.
“Kalau kita soroti, misalnya kebijakan The Fed, itu karena terjadi inflasi besar-besaran Eropa. Setidaknya bank di Indonesia masih oke. Apalagi, tahun depan ada pilpres, mau tidak mau memberikan positif atau negatif pada kondisi ekonomi Indonesia,” paparnya.
Namun, dia menyebut perbankan mau tak mau bakal dihadapkan pada masalah likuiditas.
“Saat ini memang dari sisi kualitas aktiva yang masih terbantu karena adanya restrukturisasi. Akan tetapi, pelan tapi pasti bank harus mulai memikirkan soal depricing ini," ujarnya.
Amin menuturkan, mengingat current account savings account (CASA) menjadi pendorong utama dalam mengurangi biaya pendanaan dan menjaga NIM yang sehat.
Namun, meskipun CASA memberikan keuntungan dalam mengelola NIM, menghimpun dana murah bukanlah tugas yang mudah.
Apalagi, dia menyebut regulator pun kian menetapkan berbagai macam kebijakan, di mana bank harus memenuhi kondisi modal inti tertentu, kemudian dihadapkan persaingan yang tidak mudah.
Pasalnya, bank harus berkompetisi dengan berbagai produk dan layanan keuangan lain, mulai dari model bisnis bank syariah, bank digital hingga fintech.
Bahkan, dia menyebut kini BPR menjadi pesaing yang patut diperhitungkan, di mana mengacu pada UU P2SK kini BPR bisa menyelengggarakan aktivitas bisnis dari bank umum. Bahkan, dengan suku bunga yang lebih royal dibanding bank umum akan menarik nasabah ke rekening giro dan tabungan mereka
“Jadi, menurut saya NIM enggak perlu ditekan, kecuali bank menghadapi tanda likuiditas yang parah. Saat ini, saya pikir semua masih aman, untuk [bank] bergerak lebih lincah, ekspansi kredit,” tutupnya.