Bisnis.com, JAKARTA - Pencabutan status darurat COVID-19 yang diumumkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) pada 5 Mei 2023 menjadi angin segar bagi setiap negara untuk kembali menata kehidupannya. Hal tersebut didasarkan pada menurunnya kasus dan kematian akibat COVID-19.
Pasca pencabutan tersebut, WHO juga mempersilakan setiap warga untuk kembali menjalani hidup normal seperti sediakala. Namun demikian, luka memar (scarring effect) dari fenomena yang dinamakan “A crisis like no other” tersebut masih tersisa.
Krisis yang bermula dari sektor kesehatan ini nyatanya berimbas buruk pada sektor lainnya, termasuk ekonomi. Laporan World Bank menunjukkan baik di negara maju maupun berkembang mengalami kontraksi ekonomi.
Sebut saja Amerika Serikat dan Singapura mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif akibat pandemi ini, masing-masing sebesar -2.8 persen (ctc) dan -4,1 persen (ctc). Bahkan pertumbuhan ekonomi Inggris pada tahun 2020 menyentuh -11 persen (ctc).
Di sisi lain, negara berkembang yang masuk dalam lingkup ASEAN juga mengalami hal serupa. Malaysia, Thailand, dan Filipina mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang dalam pada 2020, yakni masing-masing sebesar -5.6 persen, -6,1 persen, dan -9.5 persen. Sama halnya dengan negara-negara yang disebutkan sebelumnya, ekonomi Indonesia pun mengalami kontraksi sebesar -2,07 persen (ctc). Begitulah gambaran nyata pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada 2020 lalu.
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi, pandemi juga menyerang sektor keuangan dimana perbankan menghadapi kondisi liquidity trap. Hal ini ditandai dengan angka penyaluran kredit yang turun drastis di tengah peningkatan yang signifikan pada Dana Pihak Ketiga (DPK), sehingga fungsi intermediasi perbankan sebagai penyalur dana tidak bisa berjalan dengan seimbang.
Baca Juga
Bank Indonesia (BI) mencatat nilai pertumbuhan kredit bank pada 2020 membukukan nilai yang negatif, yaitu -2,4 persen (yoy), sementara pertumbuhan DPK melesat jauh di angka 11,11 persen (yoy).
Kebijakan countercyclical pemerintah terus dilakukan sebagai langkah nyata untuk memerangi badai pandemi, termasuk program pemulihan ekonomi nasional. Alhasil, saat ini perekonomian Indonesia telah berangsur pulih, dimana pada tahun 2022 yang mencatatkan pertumbuhan impresif sebesar 5,31 persen (ctc).
Angka tersebut melebihi target yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar 5,2 persen (ctc). Selain itu, pada triwulan pertama 2023, BPS juga mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menyentuh level sebelum pandemi, yakni di angka 5,03 persen (yoy).
Sejalan dengan perekonomian, sektor keuangan juga mulai pulih. Hal ini tercermin dari kredit yang tumbuh double digit di angka 11,35 persen (yoy) pada 2022.
Kondisi ini didorong oleh tumbuhnya kredit pada seluruh golongan debitur (Korporasi maupun Perorangan) serta seluruh segmen kredit (Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi, dan Kredit Konsumsi). Sementara pertumbuhan DPK pada 2022 mencapai 9.01 persen (yoy).
Namun demikian, jika dilihat secara sektoral, masih terdapat sektor-sektor tertentu yang penyaluran kreditnya belum pulih seiring dengan risk appetite perbankan yang masih rendah, misalnya kredit yang disalurkan untuk sektor penyedia akomodasi makan-minum (hotel dan restoran).
Disini lah terdapat celah bagi otoritas keuangan untuk dapat memberikan ramuan obat terbaiknya agar bisa mempercepat pemulihan pada sektor yang belum pulih tersebut.
Dari OJK, saat ini telah memberikan suplemen tambahan berupa perpanjangan kredit restrukturisasi hingga triwulan I 2024. Beberapa sektor yang mendapatkan keuntungan ini diantaranya sektor penyedia akomodasi makan-minum, UMKM, serta sektor yang memberikan lapangan kerja besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki.
Tidak bisa hanya tinggal diam, BI juga terus berinovasi dalam meramu obat-obat untuk mengakselerasi ekonomi pasca badai pandemi COVID-19. Ramuan terbaru BI ini yakni kebijakan insentif makroprudensial.
Kebijakan insentif Makroprudensial
Kebijakan insentif makroprudensial BI ditujukan sebagai suplemen agar bank-bank dapat menyalurkan kredit kepada sektor-sektor ekonomi tertentu. Termasuk di dalamnya sektor prioritas dan sektor yang terdampak scarring, sektor UMKM, serta sektor lainnya yang ditetapkan oleh BI.
Kebijakan insentif makroprudensial ini sifatnya sebagai pengurang kewajiban simpanan (giro) minimum bank yang harus ditempatkan di BI atau dikenal dengan giro wajib minimum (GWM). Sebagai contoh, kewajiban GWM rata-rata saat ini adalah sebesar 9 persen, lalu jika bank tersebut memperoleh insentif makroprudensial sebesar 2 persen maka kewajiban GWM bank tersebut hanya sebesar 7 persen. Pengurangan GWM sebesar 2 persen ini diharapkan dapat meringankan beban bank dalam pemenuhan kewajiban GWM, sehingga hal ini tentunya turut menambah likuiditas bank.
Hingga saat ini kebijakan insentif makroprudensial yang dikeluarkan BI telah memasuki tahap ketiga. Tahap pertama berlaku dari Maret hingga Agustus 2022, dengan memberikan pengurangan GWM maksimum sebesar 1 persen kepada perbankan jika memberikan kredit pada sektor prioritas dan inklusif.
Selanjutnya pada tahap kedua yang berlaku mulai September hingga Desember 2022, BI kembali memberikan insentif makroprudensial dengan besaran yang lebih besar, yaitu melalui pengurangan maksimum kewajiban GWM sebesar 2 persen. Pada tahap kedua ini besaran insentif untuk sektor prioritas meningkat 1 persen dari ketentuan sebelumnya menjadi 1,5 persen, serta insentif untuk sektor inklusif tetap di tingkat maksimum 0,5 persen.
Selanjutnya mulai 1 April 2023, BI kembali meningkatkan insentif makroprudensial dengan maksimum pengurangan GWM sebesar 280 bps atau 2,8 persen. Secara lebih rinci, insentif tersebut terdiri dari maksimal pengurangan 1,5 persen untuk penyaluran kredit kepada sektor prioritas, dan kenaikan insentif pengurangan sebanyak dua kali lipat yakni hingga 1 persen untuk bank yang menyalurkan pembiayaan inklusif, termasuk kredit usaha rakyat (KUR).
Pada tahap ketiga ini, penyaluran kredit pada sektor berwawasan lingkungan (sektor hijau) juga mendapatkan insentif makroprudensial melalui pengurangan kewajiban GWM hingga 0,3 persen. Contoh penyaluran kredit pada sektor berwawasan lingkungan diantaranya kredit yang ditujukan untuk pengembangan kendaraan listrik dan KPR hijau.
Tidak hanya mendorong pemulihan sektor yang terdampak scarring dan mewujudkan pemerataan pembiayaan, pemberian insentif makroprudensial ini juga ditujukan untuk mendukung perwujudan transisi menuju ekonomi hijau (green economy). Hal ini juga turut mendorong perbankan agar lebih memerhatikan keseimbangan dan pelestarian sumber daya alam dalam.
Pada akhirnya dengan ramuan kebijakan insentif makroprudensial yang telah dibuat oleh BI, harapannya dapat memberikan angin segar dalam menstimulus kinerja intermediasi perbankan yang didukung dengan kondisi likuiditas yang memadai. Sehingga penyaluran kredit utamanya untuk sektor prioritas termasuk sektor scarring, sektor inklusif (UMKM), dan sektor berwawasan lingkungan dapat meningkat dan mendorong kemajuan dan ekonomi nasional yang berkelanjutan.