Bisnis.com, JAKARTA - Jargon menggenjot inklusi keuangan sepertinya perlu ditinjau ulang, seiring maraknya fenomena masyarakat Indonesia yang memanfaatkan kemudahan akses pinjaman online (pinjol) secara tak semestinya.
Direktur Utama PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) Yohanes Arts Abimanyu melihat fenomena itu menjadi semakin parah karena banyak anak muda yang akhirnya mentalnya rusak, justru karena akses pinjaman yang terlalu mudah.
Misalnya, memunculkan penyakit belanja konsumtif yang tidak urgen dan nilainya di luar kemampuan, bahkan sampai memanfaatkan pinjol untuk bermain judi online.
"Kalau zaman dulu, sebelum adanya digitalisasi, susah sekali untuk mengakses pinjaman dari layanan jasa keuangan. Terutama kalau tidak memiliki penghasilan tetap, banyak sekali filternya. Sekarang, kalau punya nomor ponsel berusia lebih dari setahun saja sudah bisa dapat limit jutaan," jelasnya kepada Bisnis, dikutip Rabu (11/10/2023).
IdScore sebagai biro kredit memiliki database total debitur aktif lembaga keuangan mencapai 55,14 juta orang per Juni 2023. Berdasarkan analisis IdScore, terdapat 3 juta orang debitur pinjol atau rumpun tekfin dengan sebaran usia milenial sebesar 57,68%, diikuti oleh generasi Z sebesar 27,36%, generasi X sebesar 14,55%, dan sisanya baby boomers.
Sekitar 421.945 orang dari total 6,29 juta debitur generasi milenial dalam database IdScore mulai mengakses pinjaman pertamanya dari pinjol. Sementara untuk generasi Z, sebanyak 287.021 orang dari total 4,58 juta mengakses pinjaman pertamanya dari pinjol.
IdScore pun mencatat rata-rata nilai pinjaman melalui pinjol dari generasi Z sebesar Rp5,1 juta, sementara generasi milenial sebesar Rp2,6 juta. Artinya, generasi Z yang notabene belum semapan milenial justru meminjam lebih banyak, hampir dua kali lipat.
Adapun, berdasarkan standar IdScore, mayoritas profil risiko debitur pinjol berada pada segmen high risk (43,28%) dan very high risk (48,20%). Debitur dengan segmen risiko menengah hanya 7,22%, sementara berisiko aman hanya kisaran 1 persen.
"Bayangkan, berarti sekitar 91% debitur pinjol itu berisiko. Memang platform sendiri yang memilih berbisnis di situ, tapi kasihan juga masyarakatnya kalau belum siap. Bicara inklusi keuangan, seharusnya tetap ada batasnya. Saat ini, mitigasi risiko para pemain terbilang masih terlalu longgar," tambahnya.
IdScore pun menyarankan agar regulator memberikan suatu standar tertentu bagi industri pinjol dalam mitigasi risiko. Pasalnya, saat ini kebanyakan platform memiliki standar tersendiri yang bermacam-macam.
"Kami paham, pengaturan mengenai credit risk management sering kali berlawanan dengan kepentingan bisnis. Mungkin beberapa perusahaan pinjol melihat kalau risk management terlalu ketat, perusahaan tidak bisa tumbuh. Jadi, ini seperti dua sisi mata uang," jelasnya.
Namun, hal ini penting agar fenomena gagal bayar di industri pinjol tak lagi terlalu masif. Terlebih, IdScore mencatat saat ini NPL industri pinjol mencapai 27,41 persen, lebih tinggi dari NPL industri bayar tunda atau paylater yang masih 6,88 persen walupun tetap terbilang tinggi.
IdScore menekankan bahwa inklusi keuangan tetap harus ada batasnya. Harus tetap terukur. Jangan menyasar anak muda umur belasan tahun dan orang-orang yang tak layak diberikan pinjaman.
Terlebih, ini juga demi keberlanjutan industri pinjol itu sendiri, agar terhindar dari fenomena anak-anak muda yang mudah menyerah dan tak mau membayar cicilannya.
"Jangan sampai terlalu memanjakan generasi muda Indonesia untuk punya pola pikir jangka pendek. Kalau pinjaman kecil saja ngemplang, bagaimana kalau mereka nanti mau diberikan kepercayaan untuk KPR atau kredit kendaraan? Belum lagi kalau rekam jejak nantinya sangat berpengaruh ke karier, susah diterima kerja, sampai susah naik jabatan. Artinya, platform juga punya tanggung jawab untuk membangun pola pikir jangka panjang atas literasi keuangan para pengguna," tutupnya.
Dampak Psikologis
Berdasarkan pendekatan psikologis, Psikolog Samanta Ananta membenarkan adanya fenomena generasi muda memanfaatkan pinjol untuk kegiatan yang kurang produktif, bahkan karena sekadar kalap.
Misalnya, menyediakan kemudahan akses untuk mencicil barang atau hadir ke acara yang hanya didasarkan keinginan untuk up to date, juga mengakomodasi kemudahan untuk self reward yang melebihi kemampuan, seperti karena kecanduan bermain game atau dorongan belanja impulsif.
"Kemudahan teknologi tidak selalu memberikan dampak yang baik, terutama bagi individu yang self control-nya kurang baik, seperti mudah terpengaruh iklan, mudah terbawa tren lingkungan sosial, dan tergoda uang gampang," ujarnya kepada Bisnis.
Oleh sebab itu, Samanta menekankan bahwa perbaikan kontrol diri merupakan prioritas bagi seluruh anak muda di Tanah Air. Jangan sampai kemudahan pinjol ujung-ujungnya justru mengganggu kesehatan mental, bahkan sampai membawa pola pikir korban untuk punya niat kabur dan lepas dari tanggung jawab.
Senada, Penasihat Keuangan dari PINA Evelin Candratio mencermati adanya fenomena anak muda yang cenderung menyerah dan lepas dari tanggung jawab mencicil utangnya di platform pinjol.
Biasanya, kondisi tersebut berawal dari penggunaan pinjol sembarangan, kemudian mengalami keterlambatan mencicil, sehingga mulai mencoba praktik gali lubang tutup lubang dari pinjol lain.
Akhirnya, mereka pun terjebak dengan utang menumpuk beserta biaya-biaya dendanya, sampai nilai total utangnya melebihi kemampuan mereka.
"Tapi jangan sampai punya pikiran untuk gagal bayar, karena perilaku ini merugikan diri sendiri dan orang terdekat. Harus berpikir jangka panjang. Buka komunikasi dengan keluarga atau orang terdekat untuk mengidentifikasi utang, dan jangan malu minta bantuan. Bisa repot nanti kalau sejak masih muda saja sudah sulit dipercaya sama lembaga keuangan, karena semua rencana hidup ke depan pasti ada hubungannya dengan financial planning," tutupnya.