Bisnis.com, JAKARTA — Emiten bank digital PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) mengambil langkah strategis dengan memperkuat ekspansi ke segmen pembiayaan produktif seperti usaha kecil menengah (SME) dan wholesale di tengah meningkatnya risiko kredit konsumtif akibat tekanan ekonomi rumah tangga.
Presiden Direktur Allo Bank Indra Utoyo mengatakan pihaknya secara cermat memantau kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) rumah tangga dan penurunan indeks keyakinan konsumen yang mencerminkan tekanan pada daya beli masyarakat.
“Namun bagi kami, ini bukan alasan untuk menghentikan laju penyaluran kredit konsumtif pada segmen ritel, melainkan momentum untuk mengkalibrasi kembali strategi penyaluran kredit secara lebih selektif, presisi, dan berbasis data,” ujar Indra kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).
Lebih lanjut Indra menyampaikan Allo Bank memanfaatkan kekuatan teknologi dan data untuk menyesuaikan model credit scoring secara dinamis.
Strategi ini dilakukan dengan mengintegrasikan indikator makroekonomi, perilaku digital konsumen, dan sinyal pasar lainnya. Dengan pendekatan ini, kredit ritel tetap disalurkan secara terukur dan berkelanjutan, terutama pada segmen yang resilient.
Meski demikian, Allo Bank juga memperluas porsi pembiayaan produktif sebagai bentuk diversifikasi portofolio kredit. Indra menyebut pihaknya melihat peluang solid pada sektor-sektor yang masih tumbuh dan memiliki prospek jangka menengah panjang yang sehat.
Baca Juga : Indeks Keyakinan Konsumen Mei 2025 Turun, Persepsi Ketersediaan Kerja Masuk Zona Pesimis |
---|
“Kami terus menjaga keseimbangan portofolio dengan memperkuat ekspansi ke segmen wholesale dan SME. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip utama kami, tumbuh secara berkelanjutan, dengan kualitas aset yang tetap terjaga,” tuturnya.
Indra menegaskan bahwa siklus ekonomi yang dinamis menuntut perbankan untuk tetap waspada, tetapi tetap mencari ruang pertumbuhan.
“Kami percaya bahwa dalam setiap siklus ekonomi, selalu ada ruang untuk bertumbuh, selama kita melangkah dengan ketepatan analitik, disiplin risiko, dan orientasi jangka panjang,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Allo Bank merupakan salah satu bank yang berada dalam ekosistem CT Corp yang dimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung. Salah satu orang terkaya di Indonesia ini memiliki saham BBHI melalui Mega Corpora dengan kepemilikan sebesar 60,9%.
Selain itu, Bukalapak.com Tbk. mengenggam 11,5% saham Allo Bank, kemudian Abadi Investment Pte Ltd. sebesar 7,0%, Indolife Investama Perkasa sebesar 6,0%, dan masyarakat sebesar 14,6%.
Secara makro, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2025 telah turun ke level 117,5 atau posisi terendah sejak September 2022. Sementara itu, NPL perbankan untuk sektor rumah tangga mencapai 2,23% per Maret 2025, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Tak hanya itu, di pasar modal, dua indeks saham sektor konsumsi, yakni IDX Sector Consumer Cyclicals dan IDX Sector Consumer Non-Cyclicals kompak berada di posisi terbawah di antara indeks sektoral sepanjang 2025 atau year-to-date (YtD).
Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk. Efdinal Alamsyah sebelumnya mengatakan perseroan kini lebih selektif di segmen konsumtif untuk mempertahankan kinerja sekaligus melindungi kualitas aset. Target pertumbuhan kredit pun diturunkan dari 11% menjadi 10%.
“Misalnya melalui pengetatan scoring, fokus pada payroll-linked, dan juga mengalihkan sebagian kapasitas pertumbuhan ke kredit berprofil risiko lebih baik,” katanya, Kamis (19/6/2025).
Mengenai hal ini, Chief of Economist PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual mengatakan bahwa untuk meredam tekanan daya beli dan konsumsi pada paruh kedua tahun ini, dibutuhkan sinkronisasi kebijakan perdagangan dan industri, terutama pada program-program flagship pemerintah
“Misalnya program MBG. Perlu perencanaan yang detail terkait kebutuhan infrastrukturnya, seperti dapur umum, wadah makanan, dan lain-lain, disinkronkan dengan kapasitas industri domestiknya,” katanya, Kamis (19/6/2025).
Dihubungi terpisah, Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan turunnya daya beli tahun ini terutama terjadi karena terbatasnya penciptaan lapangan kerja baru, terutama di sektor formal. Untuk itu, pemerintah perlu segera memperbaiki iklim investasi yang kini sangat tidak kondusif.
“Ekonomi biaya tinggi, administrasi yang buruk, adanya ormas, dan segala macam ini membuat biaya untuk melakukan investasi di Indonesia mahal, lalu ketidakpastian hukum, dan seterusnya. Nah, ini yang perlu pemerintah pusat lakukan,” katanya.