Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah langkah antisipasi mulai dipersiapkan perbankan guna menyambut kebijakan bank sentral soal suku bunga ke depan.
Sebagaimana diketahui, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengumumkan niatannya untuk terus memperkuat bauran kebijakan BI sekaligus mencari celah untuk menurunkan BI Rate pada semester II/2024.
Perry menyampaikan bahwa langkah BI untuk menurunkan BI Rate akan berjalan beriringan dengan bauran kebijakan moneter. Sekaligus menjalankan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar, UMKM, hingga hilirisasi.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyebut dengan kebijakan yang ada, tentu ini bakal berdampak pada kinerja penyaluran kredit dan margin bunga bersih untuk menjaga pertumbuhan laba perbankan
“Dampaknya mungkin akan terasa pada bank dalam kuartal IV/ 2024,” katanya pada Bisnis, Rabu (31/1/2024).
Baca Juga
Adapun, kata Amin, saat ini bank besar terus berfokus untuk mengurangi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mahal dan beralih ke dana murah alias current account saving account (CASA).
Apalagi, Pemilu 2024 dinilai menjadi penghambat bagi sektor perbankan untuk menyalurkan kredit, karena investor dinilai masih menahan investasinya. Alhasil, bank perlu merancang strategi yang tepat menghadapi perubahan tersebut.
“Secara umum, bank bisa pilih cari dana murah, karena DPK ritel yang berbiaya murah, membuat cost of fund bisa turun, kemudian efisiensi operasional, hingga optimalisasi kredit untuk memperoleh yield tinggi,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Segara Research Institut Piter Abdullah menyebut kinerja perbankan secara agregat diperkirakan akan selalu meningkat meski di tengah tren suku bunga tinggi dan diperkirakan baru melandai di semester II/2024.
“Sepanjang perekonomian tidak mengalami gangguan seperti pandemi lalu, maka perbankan Indonesia akan terus berkinerja baik,” katanya pada Bisnis.
Menurutnya, sistem keuangan Indonesia memberikan alternatif penempatan dana perbankan yang menguntungkan bagi perbankan khususnya bank-bank besar. “Mereka [bank besar] bisa menempatkan dana di instrumen seperti SUN dan SRBI yang memberikan return tinggi jauh diatas cost of fund mereka,” ucapnya.
Dengan demikian walaupun pertumbuhan kredit melambat, tetapi bank-bank Tanah Air terutama bank besar masih bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Lebih lanjut, kata Piter, kinerja perbankan 2023 akan lebih baik dibandingkan 2022 walaupun pertumbuhan kredit 2023 lebih rendah. Kondisi ini berpotensi bakal berlanjut pada 2024.
“Kinerja 2024 bisa lebih baik dari 2023. Walaupun tantangannya adalah normalisasi restrukturisasi kredit yang berpotensi mendorong naiknya rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL).
Kondisi di Perbankan
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) misalnya yang tidak khawatir rasio margin bunga bersih (net interest margin/NIM) tergerus meski di tengah tren suku bunga yang tinggi.
Saat ini, NIM masih menjadi indikator utama perbankan meraih profitabilitas. Tercatat NIM BBCA berada di level 5,54% sepanjang 2023, naik 20 basis poin (bps) dari sebelumnya 5,34% pada sepanjang 2022.
Presiden BCA Jahja Setiaatmadja menilai hal tersebut, lantaran porsi himpunan dana pihak ketiga (DPK) BCA didominasi dana murah atau current account saving account (CASA) mencapai 80%
“Harus dipahami, struktur DPK setiap bank berbeda. Ada bank yang mengandalkan 60%-70% untuk time deposit. Nah, kalau begitu, dari segi sensitif cost. Kalau time deposit naik akan langsung mempengaruhi semua cost of fund [biaya dana] bank tersebut," katanya dalam Paparan Kinerja 2023, Kamis (25/1/2024).
Alhasil, kata Jahja, apabila porsian dana mahal terlampau besar, maka suatu perbankan mau tidak mau harus menaikkan kredit untuk bisa terus mempertahankan NIM. "Atau kalau kreditnya tetap, maka risiko NIM tergerus," ucapnya.
Meski begitu, BBCA nyatanya turut membuka ruang untuk melakukan penyesuaian suku bunga ke depan.
Menurutnya, ini suatu yang dianggap wajar sebagai upaya untuk mengkompensasi kenaikan biaya dan dampaknya diharapkan tidak terlalu besar, karena porsi dana dari deposito dalam struktur dana bank dianggap relatif kecil.
“Memang ada kemungkinan untuk mengompensasi di sana sini, tapi untuk prime customer kita akan ada treatment khusus,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Sigit Prastowo mengatakan sepanjang 2023, industri perbankan memang mengalami kondisi likuiditas ketat. Namun, ke depannya kondisi likuiditas akan membaik.
"Hal ini seiring dengan adanya proyeksi penurunan suku bunga acuan pada 2024," ujar Sigit dalam paparan kinerja pada Rabu (31/1/2024).
Adapun, di tengah kondisi likuiditas ketat itu, Bank Mandiri berupaya menjaga margin bunga bersih (net interest margin/NIM) di level stabil.
"Biaya dana juga kami upayakan rendah dengan optimalisasi dana murah [current account saving account/CASA]," tutur Sigit. Selain itu, BMRI berupaya memaksimalkan strategi akuisisi nasabah prinsipal.
Adapun, dari sisi pendanaan, Bank Mandiri telah membukukan dana pihak ketiga (DPK) Rp1.577 triliun, naik 5,78% yoy. Di mana, secara komposisi dana murah meningkat menjadi 74,3% secara konsolidasi dan 79,4% secara bank only dari total DPK.
Tak ketinggalan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) juga membuka ruang penyesuaian suku bunga kredit dan deposito seiring dengan adanya ekspektasi penurunan suku bunga acuan pada tahun ini.
Direktur Utama BRI Sunarso memprediksi kondisi suku bunga global bakal mengalami tren penurunan pada akhir kuartal II/2024. Dengan demikian, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) juga diharapkan mengikuti kebijakan serupa.
“Dan untuk itu, BRI membuka ruang penyesuaian suku bunga baik pinjaman dan simpanan. Hal ini sudah tentu mempertimbangkan faktor biaya dana, persaingan [antarbank] dan kondisi perekonomian,” katanya dalam Paparan Kinerja BRI 2023, Rabu (31/1/2024).
Saat ini, Sunarso menilai semester pertama 2024, perseroan masih harus menghadapi sejumlah kondisi. Mulai dari, ketatnya likuiditas dan era suku bunga tinggi.
"Harapannya setelah nanti lewat satu semester, kita akan mulai memasuk era suku bunga yang rendah atau normal,” ucapnya.
Adapun dirinya menyebut cost of fund alias biaya dana pada 2024 diproyeksikan masih akan meningkat. Akan tetapi, dia optimistis CoF sendiri dapat terkelola dengan baik. Pasalnya, secara konsisten BRI secara konsisten menerapkan strategi just right liquidity untuk menjaga likuiditas di level yang optimal.
“Artinya tidak kelebihan likuiditas karena likuiditas lagi mahal, tapi juga tidak kekurangan likuiditas untuk tetap mendorong pertumbuhan kredit,” katanya.
Dia pun memberi contoh, di mana selama masa pandemi, likuiditas tersedia secara excessive di pasar, maka BRI mengoptimalkannya untuk mengubah struktur pendanaan dengan berfokus pada CASA.
“Pada saat itu, deposito mahal ditinggalkan, dan kemudian hasilnya CASA meningkat dan cost of fund lebih baik,” ujarnya.
Terpisah, berdasarkan riset Buana Capital, adanya ekspektasi The Fed melakukan pemangkasan suku bunga pada Maret 2024 sebesar 25 basis poin (bps) , maka BBRI menjadi pihak yang paling diuntungkan dari keempat bank jumbo Tanah Air atas penurunan suku bunga tersebut
“Hal ini karena rasio CASA [BRI] paling rendah,” tulis riset tersebut.
Tercatat, dari sisi pendanaan, BRI meraup dana pihak ketiga (DPK) BRI mencapai Rp1.358,33 triliun sepanjang 2023, naik 3,86% yoy.
Dana murah atau CASA BRI sebesar Rp874,07 triliun sepanjang 2023 atau porsinya mencapai 64,35% dari total DPK.