Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Sunarsip

Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence

Sunarsip adalah ekonom senior The Indonesia Economic Intelligence. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) 2000 ini meraih gelar Magister Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2006.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Menanti Penurunan Suku Bunga BI

Penurunan BI Rate tampaknya memang hanya menunggu momentum. The Fed telah memberikan sinyal akan menurunkan suku bunga acuannya.
Ilustrasi suku bunga perbankan. Dok Freepik
Ilustrasi suku bunga perbankan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) tampaknya perlu mengevaluasi kebijakan suku bunga acuannya, BI Rate. Kebijakan mempertahankan BI Rate-nya di level 6% sepertinya tidak cukup efektif mengembalikan nilai tukar rupiah ke level “sasaran” Rp15.000 per US$.

Selama 3 bulan terakhir, nilai tukar bergerak di level Rp15.500--Rp16.000 per US$. Padahal, inflasi berhasil ditekan di bawah 3%. Dengan inflasi rendah, para pelaku pasar uang memperoleh margin suku bunga riil (real interest rate) yang tinggi, sekitar 3%. Sayangnya, hal itu tidak cukup mengangkat nilai tukar secara signifikan.

Di sisi lain, tingginya BI Rate mulai memunculkan sejumlah implikasi khusus di sektor riil. Relasi antara tingginya BI Rate terhadap kinerja perekonomian ini antara lain dapat ditelusuri sejak dari sektor perbankan.

Perbankan sebagai elemen hulu (upstream) pembiayaan ekonomi paling terdampak akibat tingginya BI Rate ini.

Kebijakan moneter melalui penetapan suku bunga acuan akan tertransmisikan ke perekonomian melalui sektor perbankan. Kebijakan BI Rate akan mempengaruhi kebijakan di tingkat mikro perbankan dalam menentukan harga (pricing) produknya baik pendanaan (melalui suku bunga simpanan) maupun pembiayaan (melalui suku bunga kredit).

Kebijakan pricing ini akan berpengaruh pada kinerja pendanaan maupun kredit. Bila pricing pada sisi pendanaannya tinggi maka pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) akan melemah. Dan pada akhirnya, tingginya suku bunga simpanan akan menyebabkan kenaikan suku bunga kredit dan biasanya akan menurunkan pertumbuhan kreditnya.

Selama 2023, kinerja pertumbuhan dana perbankan sangat terbatas. Pada Desember 2023, DPK hanya tumbuh 3,73%. Pertumbuhannya pun tidak merata. Pada November 2023, misalnya, DPK bank BUMN masih terkonstraksi -0,80% (year to date, ytd) dibanding Desember 2022.

Bank BUMN baru dapat menutup akhir tahun dengan kinerja DPK positif setelah pada Desember 2023 mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,50% (month on month, MoM) dibanding November 2023. Kondisi ini menggambarkan bahwa bank BUMN pun mengalami kesulitan dalam mengumpulkan dana masyarakat.

Ironisnya, di tengah pertumbuhan DPK yang terbatas, beban bunga DPK mengalami kenaikan signifikan. Selama 2023, beban bunga yang dibayarkan kepada deposan (pemilik DPK) meningkat 53,56% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kenaikan beban bunga terutama berasal dari beban bunga deposito yang meningkat 57,52%, meskipun dana deposito hanya tumbuh 4,48%. Kondisi ini menggambarkan betapa mahalnya ongkos yang harus dibayar perbankan untuk memperoleh dana. Kondisi ini sekaligus mengkonfirmasi adanya kenaikan pricing pada setiap komponen DPK-nya.

Tingginya suku bunga tidak hanya menggerus profitabilitas perbankan. Tingginya suku bunga juga menghambat fungsi intermediasi melalui pertumbuhan kredit. Kondisi ini terutama menekan kinerja bank-bank skala kecil, termasuk kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Pada umumnya, bank-bank skala kecil menggantungkan pendapatannya dari pendapatan bunga. Dan bila suku bunga simpanan tinggi, bank-bank tersebut hanya memiliki dua opsi.

Pertama, tetap menarik dana masyarakat meskipun harus membayar biaya dana yang mahal. Bila opsi ini diambil, bank tersebut akan menaikan suku bunga kreditnya agar tetap memperoleh selisih bunga positif sebagai pendapatan bunga bersihnya (net interest income).

Kedua, selektif dalam menarik dana, bahkan cenderung memilih DPK tidak tumbuh. Tujuannya adalah menjaga profitabilitas melalui efisiensi biaya. Konsekuensinya, kredit cenderung tidak tumbuh.

Bank-bank skala kecil tampaknya cenderung memilih opsi kedua. Karena biaya dana tinggi, mereka menahan pertumbuhan DPK-nya. Konsekuensinya, kredit tumbuh terbatas. Kelompok BPD, misalnya, DPK-nya hanya tumbuh 0,89%. Konsekuensinya, kredit BPD hanya tumbuh 7,79% lebih rendah dibanding pertumbuhan kredit secara nasional sebesar 10,38%.

Kinerja pertumbuhan kredit tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian, terutama sektor riil. Dan sepertinya, dampak dari pelemahan kinerja perbankan terhadap perekonomian tersebut telah mulai terasa saat ini.

Selama 2023, kredit untuk sektor ekonomi utama tumbuh terbatas. Kredit untuk sektor industri pengolahan, misalnya, hanya tumbuh 4,72%. Kredit untuk sektor perdagangan tumbuh lebih baik, yaitu 9,12% namun masih di bawah pertumbuhan kredit secara nasional.

Kredit untuk sektor konstruksi bahkan terkontraksi sebesar -0.37%. Bagaimana menjelaskan relasi antara pertumbuhan kredit ini dengan kinerja ekonominya? Karena faktanya, selama 2023 ekonomi tumbuh positif sebesar 5,05%.

Kinerja ekonomi selama 2023 memang relatif baik. Namun, pembentukan pertumbuhannya tersebut sebenarnya masih terbatas. Sumber pertumbuhan ekonomi tidak berasal dari sektor ekonomi utama. Sektor industri pengolahan dan perdagangan yang memiliki kontribusi tertinggi terhadap PDB tumbuh lebih rendah. Sektor industri, sejalan dengan pertumbuhan kreditnya, hanya tumbuh 4,64%. Demikian juga dengan sektor perdagangan yang tumbuh 4,85%.

Jawa yang menjadi penyangga utama ekonomi, rata-rata tumbuh di bawah pertumbuhan nasional. Ekonomi Jawa Timur yang biasanya tumbuh di atas rata-rata nasional, tahun lalu tumbuh lebih rendah. Pertumbuhan ekonomi selama 2023, lebih banyak ditopang oleh sektor pertambangan dan jasa-jasa yang pangsanya terhadap perekonomian dan serapan tenaga kerja masih relatif rendah.

Kondisi ini tentunya perlu dipulihkan. Kebijakan ekonomi, khususnya moneter, memiliki peran penting untuk memperkuat pemulihan ekonomi. Terlebih di 2024 ini, banyak aktivitas politik, yang berpotensi menghambat aktivitas investasi terutama di daerah. Kebijakan moneter longgar melalui penurunan BI Rate penting untuk memangkas biaya dana perbankan dan menurunkan biaya kredit.

Penurunan BI Rate tampaknya memang hanya menunggu momentum. Bank sentral AS (The Fed) juga telah memberikan sinyal akan menurunkan suku bunga acuannya, the Fed Fund Rate (FFR). Tentunya, penurunan BI Rate tidak harus menunggu keputusan the Fed. BI dapat bertindak “ahead the curve” atau mendahului keputusan the Fed.

Argumentasinya adalah menjaga pemulihan ekonomi domestik lebih prioritas dibanding menjamu kepentingan pelaku pasar uang. Sementara itu, untuk memperkuat stabilitas nilai tukar, BI perlu mengambil langkah lainnya seperti penguatan pada aspek pengelolaan devisanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sunarsip
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper