Bisnis.com, JAKARTA -- Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL), termasuk kredit macet usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kian membumbung tinggi, terimbas kondisi bisnis tak menentu kala pandemi Covid-19. Ada usulan agar kredit macet UMKM dihapus buku dan hapus tagihkan.
Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sarmuji mengatakan berakhirnya program restrukturisasi kredit Covid-19 pada Maret 2024 membawa konsekuensi bagi bank.
"Saya khawatir karena UMKM yang lahir atau diberikan kredit pada pandemi mendapatkan situasi sulit, mereka potensi gagalnya besar," ujarnya saat rapat dengar pendapat pada beberapa waktu lalu (8/7/2024).
Menurutnya, UMKM sulit membayar kredit karena situasi yang tidak bisa dikendalikan seperti dampak pandemi Covid-19. "Bukan karena kesengajaan tapi karena memang tidak bisa untuk lanjut, kalau tidak ada keputusan [dari bank] itu larut dan tidak pernah selesai," tuturnya.
Nyatanya, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio NPL UMKM membengkak. Pada Mei 2024, rasio NPL UMKM mencapai level 4,27%, naik tipis dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau April 2024 pada level 4,26%.
NPL UMKM juga naik cukup tinggi sepanjang tahun berjalan atau dibandingkan Desember 2023 yang masih pada level 3,71%.
Oleh karena itu, Komisi VI mengusulkan agar bank menjalankan kebijakan hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM. "Dengan syarat yang sangat selektif, melalui verifikasi, terutama bagi nasabah yang nilai pinjamannya kecil, dari Rp25 juta, maksimal Rp50 juta," jelas Sarmuji.
Menurutnya, harus ada kejelasan nasib UMKM yang memiliki tunggakan di bank. Sebab, dengan beban kredit macet di bank, UMKM tidak bisa menjalankan bisnisnya lagi.
"Sepanjang tanggungan merek tidak dibayar padahal gagal karena pandemi atau bencana, mereka [UMKM] tidak bisa lagi mencoba bisnis karena utang yang memang tidak bisa dibayar," kata Sarmuji.
Terlebih, menurutnya pihak bank sudah mempunyai cadangan yang kuat dalam menjalankan kebijakan hapus buku dan hapus tagih kredit macet.
Sebelumnya, OJK telah menggodok kebijakan hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM. OJK melaporkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait hapus buku dan hapus tagih kredit macet pada kelompok UMKM masih dalam tahap penyesuaian.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Edina Rae mengatakan proses tersebut termasuk dalam finalisasi bersama beberapa RPP lainnya.
“Itu RPP [hapus buku dan hapus tagih kredit macet] masih sedang jalan sekarang, artinya sedang finalisasi dengan beberapa RPP lain sebetulnya, mudah-mudahan sih itu bisa dilakukan dilakukan secara lebih cepat itu saja,” ujarnya di Gedung DPR RI, pekan lalu (27/6/2024).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae/OJK
Namun, Dian tidak memberikan komentar lebih lanjut mengenai target waktu penyelesaian regulasi yang sedang dibahas. Dia menyebut bahwa pertanyaan lebih lanjut terkait hal ini sebaiknya diajukan kepada Kementerian Keuangan, karena kemungkinan Kemenkeu memiliki informasi lebih detail terkait progres dan jadwalnya.
“Tapi kalau dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan [KSSK] tentu kami mengharapkan ini segera bisa selesai,” ucapnya.
Dian membeberkan sebenarnya hapus buku dan hapus tagihan kredit macet UMKM telah wajar dilakukan oleh perbankan swasta pada umumnya. Akan tetapi, hal yang membuat ini menjadi tantangan saat aturan ini diimplementasikan adalah bagi bank BUMN.
“Ini kan masalahnya, Himbara [himpunan bank milik negara] itu kan milik pemerintah, [nah] itu kan ada komponen uang negara yang disisihkan, [misal] kekayaan negara yang disisihkan, [artinya] ini yang selalu menimbulkan situasi yang berat buat bank-bank BUMN,” ucapnya.
Menurut Dian ini menjadi isu utama, lantaran jangan sampai Himbara pada saat melakukan hapus buku dan hapus tagih dianggap merugikan negara.
“Nah, itu yang mereka [Himbara] takut, itu sebetulnya yang jadi isu utama, sehingga kalau bank-bank swasta ya tiap hari mungkin melakukan hapus buku,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, hapus buku ini tidak menghilangkan kewajiban nasabah untuk membayar utang yang sudah dijalankan.
Sementara itu, aturan hapus tagih alias pemutihan adalah sebuah penghapusan tagihan yang dapat memberikan kesempatan kepada nasabah untuk memulihkan reputasi mereka dan mendapat kredit baru kembali.
Pada awal tahun, Dian juga sempat membocorkan sejumlah usulan yang diberikan OJK terkait dengan aturan tersebut agar tidak menimbulkan moral hazard.
"Kebijakan hapus tagih bersifat one time policy atas kredit bermasalah yang telah direstrukturisasi dan dihapus buku minimal 10 tahun sejak aturan berlaku," ujarnya.
Selain itu, bank dan lembaga keuangan non-bank BUMN hanya dapat melakukan penghapus tagihan kredit macet paling lama 1 tahun sejak aturan efektif.
Dian mengatakan wacana hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM berkembang seiring dengan adanya ketentuan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk merespons kesulitan bank BUMN atau bank miliki pemerintah dalam menjalankan hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM.
Khusus bagi bank BUMN, penghapus bukuan kredit UMKM bukan lagi menjadi kerugian keuangan negara, tetapi kerugian yang dapat dihapus bukukan dan diatur secara perundang-undangan.