Bisnis.com, JAKARTA — Malaise industri otomotif di tengah pelemahan daya beli masyarakat pada 2024 membuat industri pembiayaan atau multifinance was-was.
Apalagi, sektor otomotif menghadapi risiko baru pada 2025 yakni kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pungutan opsen pajak. Hal ini makin membuat perusahaan multifinance harap-harap cemas.
Mengacu data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sepanjang Januari–Oktober 2024, total penjualan mobil secara wholesales tercatat sebesar 710.406 unit atau turun 15% dari periode sama pada 2023 (year-on-year/YoY).
Sementara itu, penjualan mobil ritel atau dari diler ke konsumen juga turun 11,5% YoY menjadi 730.637 unit pada periode 10 bulan 2024.
Situasi itu cukup berimpak pada sektor pembiayaan. Pasalnya, pangsa pasar pembiayaan otomotif masih mendominasi salah satu subsektor industri jasa keuangan itu.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait statistik lembaga pembiayaan per September 2024, penyaluran kredit untuk sektor otomotif masih mendominasi hingga 77,33% dari total piutang pembiayaang industri multifinance.
Bila diperinci, dari total 59 objek pembiayaan, penyaluran kredit untuk kendaraan bermotor roda empat baru mencapai Rp152,22 triliun atau berkontribusi sebesar 28,80% dari total piutang pembiayaan industri.
Kemudian ada objek pembiayaan kendaraan bermotor roda empat bekas dengan kontribusi mencapai 16,80% atau senilai Rp88,83 triliun.
Sementara itu, kendaraan bermotor roda dua baru, mobil pengangkutan, dan kendaraan bermotor roda dua bekas masing-masing menyumbang sebesar 16,44%, 11,02% dan 4,26% bagi total piutang pembiayaan industri.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya OJK, sebelumnya menjelaskan bahwa per September 2024, piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tumbuh sebesar 9,39% YoY menjadi Rp501,78 triliun. Pada periode yang sama, laba industri multifinance naik 0,84% YoY menjadi Rp16,97 triliun.
“Dengan melihat pertumbuhan tersebut dan masih ada waktu beberapa bulan lagi menjelang tutup buku akhir Desember 2024, maka pertumbuhan pembiayaan perusahaan pembiayaan diperkirakan masih akan sesuai target 10%–12% pada akhir tahun 2024, meskipun terdapat risiko akan bias ke bawah sehingga diperlukan peningkatan piutang pembiayaan yang lebih besar ke depan,” jelasnya dalam RDKB OJK pada Oktober lalu.
Untuk piutang pembiayaan pokok kendaraan bermotor sendiri, jelas Agusman, tercatat sebesar Rp408,72 triliun per September 2024. Realisasi itu mengalami peningkatan sebesar 9,93% YoY.
“Hal ini menunjukkan penyaluran pembiayaan masih tetap tumbuh positif di tengah penurunan penjualan kendaraan bermotor,” ujarnya.
Tantangan PPN 12% dan Opsen Pajak
Kendati begitu, industri otomotif dan sektor pembiayaan dihadapkan pada tantangan baru pada tahun depan atau saat pelemahan daya beli masyarakat diyakini belum pulih benar.
Tantangan itu datang dari rencana kenaikan PPN 12% dan pungutan opsen pajak pada 2025. Opsen pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dinilai akan menjadi beban tambahan bagi konsumen di daerah pada 2025.
Opsen pajak merupakan pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu, berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Nantinya pemerintah kabupaten/kota memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Sebagai ilustrasi, BBNKB yang berlaku saat ini kira-kira sekitar 12,5%. Jika naik 6% saja atau secara total mencapai 19%–20%, maka BBNKB untuk mobil seharga Rp200 juta bisa mencapai Rp12 juta. Nilai itu belum ditambah PPN dan biaya lainnya.
Selain opsen pajak yang dipungut pemerintah daerah, malaise industri otomotif dan pembiayaan juga dibayangi oleh kenaikan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan bahwa industri pembiayaan akan bergerak sejalan dengan sektor yang didukungnya. Bila industri otomotif baik kendaraan roda dua maupun roda empat terkoreksi, jelasnya, maka sektor multifinance pun akan berdampak.
“Kami sedang mengalkulasi dampak yang ditimbulkan jika opsen pajak ini akan diberlakukan tahun depan. Kami berkoordinasi dengan asosiasi industri kendaraan roda dua maupun roda empat untuk menghitung potensi dampak pemberlakuan opsen pajak ini ke industri pembiayaan,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (4/12/2024) sore.
Suwandi mengakui saat ini lebih dari 70% pembelian produk kendaraan didukung industri pembiayaan. Oleh karena itu, dia memperkirakan bahwa kebijakan kenaikan PPN 12% dan opsen pajak itu akan berdampak kepada industri pembiayaan.
“Jika penjualan kendaraan menurun, dengan sendirinya dana pembiayaan yang kami gulirkan juga akan menurun sehingga secara tidak langsung industri pembiayaan tidak akan bertumbuh sebagaimana prediksi sebelumnya.”
Menurut Suwandi, pihaknya berharap pemerintah dapat menunda implementasi kebijakan tersebut. Pasalnya, kebijakan itu diimplementasikan kala daya beli masyarakat sedang lemah.
“Perusahaan pembiayaan banyak memberikan pinjaman atau pembiayaan kepada masyarakat yang menginginkan kendaraan atau produk baru agar market terus bertumbuh dan perekonomian mendapat dampak positifnya,” pungkasnya.