Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut menjadi sorotan masyarakat internasional, tak terkecuali media asing.
Pada perdagangan kemarin, Selasa (8/4/2025), rupiah ditutup melemah 69,5 poin atau 0,41% ke posisi Rp16.891 per dolar AS. Bahkan di Bank Central Asia (BCA) pada perdangn siang, nilai jual dolar AS telah menembus Rp17.000.
Sementara itu, dalam pembukaan perdagangan hari ini. Mengutip Bloomberg, mata uang Garuda dibuka melemah 0,39% atau 66 poin ke level Rp16.957 pada pukul 09.10 WIB. Sedangkan pada pukul 14.54 WIB, kurs rupiah berada pada level Rp16.879.
Media ternama Timur Tengah Al Jazeera menggarisbawahi bahwa pelemahan rupiah menjadi alarm peringatan ekonomi Indonesia. Tren ini terjadi di tengah kekhawatiran pasar terkait pelbagai kebijakan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam laporannya, Al Jazeera menyoroti bahwa pelemahan rupiah telah terjadi beberapa minggu sebelum hantaman kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump terjadi.
“Sejak pelantikan Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Oktober [2024], nilai tukar rupiah telah merosot sekitar 8% terhadap dolar di tengah kekhawatiran mengenai kepemimpinannya di negara dengan ekonomi terbesar dan penduduk terbanyak di Asia Tenggara,” tulis laporan itu, Rabu (9/4/2025).
Baca Juga
Kondisi ini dibandingkan dengan tren serupa pada 1998 silam. Saat itu, krisis keuangan menjadi salah satu pemicu berakhirnya tiga dekade pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.
Pelemahan rupiah juga dinilai mencerminkan tingkat keyakinan investor dan pasar global terhadap kebijakan ekonomi yang berlaku di Tanah Air saat ini.
Sejumlah ekonom dan pakar bercerita kepada Al Jazeera bahwa beragam kebijakan Prabowo seperti makan siang gratis, rencana untuk mengurangi independensi bank sentral, serta pembatasan terhadap perusahaan asing seperti Apple telah mengguncang kepercayaan investor.
"Ini semua tentang ketidakpastian yang meningka" dan penurunan signifikan dalam kepercayaan pasar", kata Arianto Patunru selakui ekonom dan peneliti di Australian National University (ANU) Indonesia Project.
Selain itu, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara hingga dorongan agar TNI menduduki lebih banyak jabatan sipil juga dinilai telah memicu kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi. Kondisi ini terjadi di tengah penurunan daya beli dan keterbatasan simpanan kelas menengah.
Profesor emeritus Ekonomi Asia Tenggara di ANU, Hal Hill menyebut bahwa kondisi sulit perekonomian sejak krisis 1997-1998 ini terjadi karena dua faktor, yakni domestik dan internasional.
"Faktor domestik adalah presiden baru. Kalangan bisnis masih berusaha mencari tahu bagaimana langkahnya dan strateginya mengelola situasi fiskal, dan itu dikombinasikan dengan faktor eksternal," jelasnya.