Bisnis.com, JAKARTA – Rencana suntikan modal kepada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. melalui penerbitan saham terbatas tersendat. Bank syariah tertua di Tanah Air ini masih menunggu kepastian dana konsorsium bentukan Ilham Habibie.
Hal tersebut disampaikan oleh Andre Mirza Hartawan, pemilik 1,66% saham Bank Muamalat. Menurut info terakhir yang dia terima pada dua pekan lalu, konsorsium belum memberikan kejelasan soal tambahan ekuitas.
Seperti diketahui, konsorsium yang terdiri dari Ilham Habibie, keluarga Arifin Panigoro, Lynx Asia, dan SSG Capital dari Hong Kong telah menyanggupi menjadi pembeli siaga Penawaran Umum Terbatas (PUT) VI.
Hal ini pun telah disetujui dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pekan kedua Oktober 2018.
Muamalat hendak menerbitkan 20 miliar lembar saham dengan estimasi dana yang akan terhimpun sebesar Rp2 triliun. Saham baru dari PUT VI ini akan diklasifikasikan sebagai modal inti (tier-1).
Andre menjelaskan, apabila aksi korporasi tidak dilakukan hingga akhir tahun ini, Bank Muamalat harus memperbarui izin penerbitan PUT dengan menggunakan laporan keuangan kuartal III/2018.
“Oleh karena itu kami harapkan Pak Ilham [Komisaris Utama Bank Muamalat] bisa lebih aktif mendorong lebih cepat [suntikan modal] masuk, karena sudah hampir lewat 6 bulan dari Juni,” katanya kepada Bisnis, Selasa (10/12/2018).
Direktur Utama Muamalat Achmad Kusna Permana sebelumnya mengatakan, dengan suntikan modal dari konsorsium akan membuat rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di atas 14%. Hal itu akan membuat perseroan percaya diri untuk melakukan ekspansi ke depan.
Andre menambahkan, laporan keuangan Juni yang digunakan untuk menerbitkan PUT VI juga belum disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Sebetulnya kalau investor sudah committed dan siap dananya bisa langsung push [meminta] OJK untuk menyetujui,” ujarnya.
Bank Muamalat diketahui telah melakukan tukar guling aset bermasalah dengan surat berharga (asset swap) milik pihak ketiga. Hal tersebut terlihat dalam laporan keuangan Bank Muamalat per Juni 2018.
Surat berharga naik lebih dari enam kali lipat pada bulan tersebut secara bulanan (month-to-month/mom), dari Rp1,4 triliun menjadi Rp9,1 triliun. Akan tetapi, pada bulan berikutnya turun 2,8% menjadi Rp8,8 triliun.
Dampak dari aksi korporasi itu, pada periode yang sama rasio pembiayaan bermasalah (non performing finance/NPF) gross turun dari 4,95% pada Juni 2017 menjadi 1,65%. NPF net pun turun dari 3,74% menjadi 0,88%.
Namun, pihak OJK menolak praktik swap asset tersebut. Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo sempat menyampaikan alasan penolakan pada September 2018.
Dalam teknik finansial (financial enginering), tukar guling aset bermasalah dengan surat berharga memungkinkan untuk dilakukan. Namun hal itu harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Menurut otoritas, surat berharga yang akan ditukar harus bisa diperdagangkan (tradable), memiliki aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), dan memiliki agunan yang jelas (underlying asset).
“Ini surat berharganya non-tradable, ATMR 0% dengan jangka waktu 20 tahun dan tanpa kupon. Siapa yang bisa menjamin dalam 20 tahun ke depan saat jatuh tempo bisa dicairkan? Jadi kami tidak setujui,” tuturnya.
Komisaris Independen Muamalat Iggi H. Achsien mengatakan skema asset swap dan suntikan dana segar adalah satu bagian untuk penyehatan keuangan dan penambahan modal. Dia sempat mengatakan bahwa perseroan akan melakukan perbaikan sesuai ketentuan OJK.