Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SUKU BUNGA ACUAN Dinaikkan, BI Dinilai Kebablasan

BISNIS.COM, SURABAYA-Penaikan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 6% diprediksi tidak banyak berpengaruh terhadap pengendalian inflasi. Purbaya Yudhi Sadewa, Anggota Komite Ekonomi Nasional, menguraikan kebijakan itu terlalu cepat karena kenaikan
BISNIS.COM, SURABAYA-Penaikan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 6% diprediksi tidak banyak berpengaruh terhadap pengendalian inflasi.
 
Purbaya Yudhi Sadewa, Anggota Komite Ekonomi Nasional, menguraikan kebijakan itu terlalu cepat karena kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi belum ditetapkan.
 
"Inflasi belum naik, malah saat itu deflasi, kenapa SBI dinaikkan. Mereka gambling karena belum tahu besarnya dampak terhadap inflasi," ujarnya di sela-sela diskusi ekonomi di Universitas Airlangga, Kamis (20/6/2013).
 
Dia menguraikan teori moneter menyebut inflasi berasal dari sisi biaya seperti subsidi BBM tak perlu diikuti dengan kenaikan suku bunga. Meski demikian, BI memilih pandangan lain bila ada inflasi, bunga harus naik.
 
"Boleh seperti itu tapi naiknya jangan kebablasan, sedikit saja cukup untuk memberi sinyal ke pasar, 50 basis poin saja harus berhenti," imbuhnya.
 
Seperti layaknya sinyal, kata dia, itu tidak akan meredam kenaikan harga di lapangan. Pasalnya, setelah BBM naik maka dampaknya bertahan setahun.
 
Di sisi nilai tukar rupiah, Yudha menguraikan pada 1997/1998 penaikan suku bunga diikuti dengan pelemahan rupiah. "Pada 2008 [BI rate] naik 9,5%, rupiah naik Rp13.000, turunkan bunga 9,25% dalam 5 hari menguat Rp1.000," jelasnya mengilustrasikan korelasi suku bunga terhadap penguatan rupiah.
 
Agar memberi kepastian arah ekonomi, dia menyarankan pemerintah segera menaikan BBM. "Kebijakan yang sudah diputuskan langsung saja dieksekusi, agar stabilitas kembali ke pasar, termasuk pasar modal."
 
IHSG pada sesi perdagagan Kamis (20/6/2013) melemah 176 poin menjadi 4.629. Kondisi itu menurutnya tanda bahwa pasar menunggu kepastian kenaikkan harga BBM subsidi dan pengaruh global.
 
Selain itu, kata dia, pemerintah harus ekspansif saat ekonomi melemah. Caranya dengan memperbesar belanja infrastruktur dari Rp188,4 triliun pada 2013 menjadi Rp463,46 trilun atau setara 5% pendapatan domestik buto.
 
Belanja pemerintah, kata dia, juga harus dipercepat di awal tahun anggaran. Porsi pengeluaran rutin juga harus dikurangi dan pinjaman pemerintah untuk pembiayaan investasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Miftahul Ulum
Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper