Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPJS Kesehatan: Dokter Bisa Tekor, Ini Penjelasannya

Pemberlakuan BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014 telah menimbulkan kekhawatiran bagi tenaga kesehatan mengenai metode pembayaran jasa mereka dengan menggunakan sistem kapitasi dan INA-CBGs yang dinilai memiliki kelemahan.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Pemberlakuan BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014 telah menimbulkan kekhawatiran bagi tenaga kesehatan mengenai metode pembayaran jasa mereka dengan menggunakan sistem kapitasi dan INA-CBGs yang dinilai memiliki kelemahan.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin secara terang-terangan mengatakan sistem kapitasi yang hendak diterapkan bagi para dokter di layanan kesehatan primer (puskesmas) bisa membuat para dokter "tekor" (rugi) atau berkurang pendapatannya akibat bertambahnya jumlah pasien.

"Biaya kapitasi dan INA-CBGs yang terlalu kecil berisiko menyebabkan dokter 'tekor'. Kalau sudah begitu dokter tidak mampu lagi memenui kebutuhan sehari-hari," kata Zaenal.

Tarif kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Pemerintah menetapkan tarif kapitasi untuk layanan primer (puskesmas) Rp3.000-6.000, untuk layanan klinik pratama dan praktek dokter Rp8.000-10.000 serta Rp2.000 untuk praktik dokter gigi mandiri.

Namun, Zaenal mengatakan jumlah tersebut masih sangat kurang apalagi jika jumlah masyarakat yang terdaftar sangat sedikit misalnya di daerah.

"Yang saya tahu setelah satu minggu ini berlangsung, animo masyarakat meningkat, beban kerja tenaga kesehatan bertambah. Itu perlu kita ketahui persis apakah ada keluhan dengan penambahan atau tidak terhadap pendapatan. Sekarang ada keluhan dokter di puskesmas gaji hanya Rp2,5 juta, gak ada tambahan yang lain," kata Zaenal.

Sistem kapitasi yang diberlakukan untuk dokter layanan primer yang menandatangi kontrak dengan BPJS Kesehatan saat ini membuat pendapatan para dokter tersebut akan bergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan.

Jika masyarakat yang sakit banyak, maka biaya kapitasi tersebut akan banyak digunakan untuk melakukan pengobatan sehingga sisanya yang bisa diberikan untuk jasa medik dokter makin sedikit.

"Jika kapitasi cukup, Rp5.000-Rp7.000 per pasien, saya pikir akan lebih longgar mengatur dananya, tapi jika penduduk yang 'diberikan' [ditangani dokter] kecil, hanya 1.000 orang, maka itu kurang," kata Zaenal.

IDI kemudian mengusulkan agar pemerintah juga memberikan insentif tambahan tetap kepada para dokter layanan primer tersebut sebesar Rp2 juta-Rp3 juta perbulannya untuk menghindarkan kekhawatiran para tenaga kesehatan.

Masalah kekhawatiran pendapatan tersebut bukan hanya ditingkat layanan primer, lanjut Zaenal tapi juga ditingkat rumah sakit.

"Saat ini yang perlu dibahas adalah pembagian renumerasi antara rumah sakit dan tenaga kesehatan. BPJS menurunkan dana, tapi itu ke RS, berapa sampai ke tenaga kesehatan, kita tidak tahu. Perlu diatur berapa yang diberi ke tenaga kesehatan, biar mereka tidak mengira-ngira," kata Zaenal.

Selain itu, sistem Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs) yang diterapkan disebut Zaenal masih memiliki kelemahan antara lain ada beberapa layanan yang belum tercantum.

"Ada beberapa spesialis, penunjang terutama, yang tidak masuk dalam INA-CBGs. Tindakannya tidak disebutkan disitu atau ada tapi biayanya tidak cukup. Misal dia melakukan tindakan tapi biayanya hhanya cukup untuk membayar bahan yang dipakai, tidak ada untuk membayar dokternya," papar Zaenal.

Kekhawatiran para tenaga kesehatan tersebut akhirnya berbuah kepada pembentukan Satuan Tugas Profesi untuk Jaminan Kesehatan Nasional (Satgas Profesi JKN) yang terdiri atas lima organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Selain melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan di daerah, Zaenal mengatakan tugas Satgas tersebut juga termasuk mengumpulkan data yang dibutuhkan terkait kesejahteraan para tenaga kesehatan.

"Kami tidak ingin mendesak pemerintah untuk melakukan terobosan tanpa menyiapkan data-data yang dibutuhkan. Rekan-rekan di daerah akan diminta melakukan pemantauan dan nanti kita laporkan ke pemerintah di rapat koordinasi yang dipimpin Menko Kesra," kata Zaenal.

Satgas juga disebut Zaenal akan memberikan bimbingan kepada para dokter layanan primer untuk lebih pintar mengatur dana kapitasi yang diterima.

"Jadi bagaimana agar dokter tidak rugi, kita ajarkan untuk melakukan promotif/preventif. Jika anda tidak melakukan tindakan promotif/preventif maka anda tidak bisa menabung," ujarnya.

Satgas disebutnya akan memantau ketat bagaimana para tenaga kesehatan dapat menjalankan paradigma sehat kepada masyarakat sehingga jumlah tindakan dan obat yang diberikan diminimalisir dan mengurangi biaya kesehatan.

"Kita pantau ketat bagaimana agar paradigma sehat dapat dilakukan, tidak menunggu masyarakat sakit. Kalau datang sakit, harus dikasih obat, kalau datang konsultasi saja, tidak perlu obat. Berarti jika paradigma sehat diberlakukan, biaya obat bisa diminimalisir sehingga biaya obat menjadi jatah dokter dan timnya," papar Zaenal.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menanggapi dingin keluhan para dokter tersebut dan mengingatkan bahwa tarif kapitasi telah ditetapkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan bersama.

"Semua berdasarkan asumsi, itu sudah dihitung. Kita sudah tingkatkan kapitasi berdasarkan perhitungan itu. Di puskesmas juga sudah ditingkatkan 3-6 kali lipat, dari Rp1.000 menjadi Rp3.000-6.000. Kalau di kota ditingkatkan 8-10 kali. Ini berbeda karena di puskesmas kan obat dan lain-lain masih dari kita (pemerintah)," kata Menkes.

Selain itu, Menkes juga menekankan bahwa sistem tersebut baru dimulai dan telah disepakati juga untuk melakukan evaluasi dalam waktu tiga bulan dan enam bulan setelah pelaksanaan.

"Kita sudah panggil (IDI), kita sudah sepakat. Kita lihat dulu, kita tinjau dalalm enam bulan ini. Kalau memang betul tekor (rugi) ya kita tinjau. Kita sudah rapat. Kita sudah sepakat kok," kata Menkes tegas.

Sebelumnya, perhitungan aktuaria menghasilkan tiga opsi pembiayaan BPJS Kesehatan yaitu mulai dari Rp19 ribu, Rp22 ribu dan Rp27 ribu.

"Kami telah mengusulkan yang Rp22 ribu tapi pemerintah mengatakan kita mulai dari Rp19 ribu dulu," kata Menkes.

Pertimbangan pemerintah memilih premi bagi penerima bantuan iuran sebesar Rp19.225 perorang perbulan tersebut adalah pertimbangan kemampuan anggaran.

Pada 2014, pemerintah mengalokasikan Rp19,9 triliun pada APBN untuk membayar premi BPJS Kesehatan bagi 86,4 juta warga miskin dan kurang mampu.

Jika ditambah lebih dari 35 juta jiwa PNS, aparat kepolisian dan pegawai BUMN yang telah tergabung dalam program tersebut maka total terdapat 121,6 juta jiwa yang bergabung dan masih sekitar 125 juta jiwa yang belum masuk dalam program BPJS. (Antara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper