Bisnis.com, PEKANBARU—Provinsi Riau memang mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga 1,43% pada kuartal I/2014. Namun, masih menjadi penyumbang terbanyak bagi pertumbuhan di wilayah Sumatera hingga 28,77%.
Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang didukung peningkatan jumlah uang beredar tidak berbanding lurus dengan aliran dana ke industri perbankan. Berikut petikan wawancara Bisnis dengan Kepala Bank Indonesia Perwakilan Riau Mahdi Muhammad, beberapa waktu lalu.
Bagaimana kondisi perbankan di Riau saat ini?
Hingga kuartal I/2014, kinerja bank umum mengalami perlambatan dibandingkan dengan rata-rata tiga tahun. Total aset bank umum mencapai Rp75,72 triliun atau meningkat 3,41% year on year (y-o-y). Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan akhir tahun lalu yang mencapai 7,85%. Kondisi ini didorong oleh perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hingga 1,9% seiring degan menurunnya tabungan.
Bagaimana dengan perkembangan kredit?
Total kredit per Maret 2014 mencapai Rp48,48 triliun atau melambat hingga 0,53% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Kondisi ini wajar mengingat kalangan pebisnis biasanya masih dalam tahap konsolidasi pada awal tahun. Masih ada beberapa kredit dalam jumlah besar yang masih digagas, tetapi belum direalisasikan saat ini. Mudah-mudahan sejalan dengan dukungan perbaikan ekonomi dan infrastruktur, pertumbuhan kredit bisa terjadi.
Penyaluran kredit diserap oleh sektor perindustrian 37,41%, pertanian 20,25%, serta perdagangan, hotel, dan restoran 22,41%. Sebagian besar disalurkan untuk kredit produktif dengan porsi 62,6%, sedangkan sisanya diserap untuk keperluan konsumtif. Meskipun demikian kualitas kredit yang diukur dengan indikator non-performing loan (NPL) berada pada level 3,32% dari batas toleransi 5%. Ini merupakan tahap moderat, tetapi perbankan sudah mulai hati-hati karena naik dari 3,06% pada 2013.
Bagaimana gambaran peredaran uang di tengah kondisi perbankan yang melambat?
Total nilai outflow mencapai Rp2,13 triliun, tetapi nilai inflow hanya Rp1,89 triliun. Jadi Riau mengalami net-outflow sebesar Rp247,52 miliar atau meningkat signifikan dibandingkan dengan periode sama tahun lalu mengalami net-inflow Rp98,04 miliar. Ini menunjukkan bahwa uang beredar yang mengalir di masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan yang terhimpun oleh industri perbankan. Padahal, secara geografis sentra pertumbuhan ekonomi terbesar pada sektor perkebunan.
Di mana ada tandan buah segar (TBS) sawit, di situ ada uang. Namun, belum semua perbankan menjangkau kawasan perkebunan tersebut. Seharusnya, masyarakat bisa menyimpan uangnya dalam sistem perbankan untuk kepentingan masa depan dan bisa semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ini menjadi tantangan bagi industri perbankan agar uang masyarakat bisa diarahkan masuk ke sistem keuangan. Saat ini masih banyak petani sawit yang tidak mempunyai rekening dan melakukan transaksi tunai.
Apa solusi dari Bank Indonesia?
Mau tidak mau industri perbankan harus bisa mendekati calon nasabah dari sektor perkebunan yang berdomisili di wilayah satelit. Cara yang tepat bagi kondisi geografis Riau adalah dengan memperluas jaringan perbankan secara digital.
Kami telah mengeluarkan aturan untuk membuka layanan keuangan digital (LKD) pada bulan lalu. Beleid ini memungkinkan pihakbank memperluas jaringannya tanpa harus membuka unit atau kantor cabang.
Pembukaan unit pada daerah terpencil membutuhkan dana yang cukup besar seperti gedung, transportasi, dan operasional. Namun, saat ini bank cukup menunjuk agen dari pelaku usaha yang bertugas membantu masyrakat untuk bertransaksi.
Apa tantangan perbankan dalam menjalankan regulasi ini?
Layanan keuangan digital sangat mengandalkan teknologi yang mumpuni. Jadi, industri perbankan harus mulai meningkatkan infrastrukturnya masing-masing di seluruh kabupaten/kota Riau.