Bisnis.com, JAKARTA--Di tengah pelemahan nilai tukar, Bank Indonesia menilai industri perbankan di Indonesia masih tahan banting untuk menjalankan bisnis.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung menuturkan industri perbankan cukup resilient untuk menghadapi pergerakan nilai tukar. Dia pun mengklaim likuiditas valuta asing bank tidak mengalami persoalan.
"Ada stress test yang regular, sampai pada kondisi yang sangat ekstrim dan bank-bank di Indonesia sangat kuat," katanya, baru-baru ini.
Sebelumnya, BI merilis skenario stress test dengan kondisi rupiah ada di Rp15.500, didapati hasil industri perbankan masih mampu menghadapi pelemahan nilai tukar, meski rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) tergerus dalam batas yang terjaga.
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengungkapkan pelemahan rupiah yang terjadi bakal meningkatkan biaya operasional bank. Dia mencontohkan bila bank berencana menambah automated teller machine (ATM) dan electronic data capture (EDC), maka harga barang-barang impor tersebut akan naik.
"ATM dan EDC kan berbahan impor, begitu juga dengan software. Jadi biaya akan meningkat, ini otomatis tercatat dalam inflasi," tuturnya.
Untuk memanajemen biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), katanya, hal tersebut tergantung dengan kemampuan dan efisiensi yang dilakukan bank. Hingga 2014, BOPO BCA mencapai 62,43%, naik tipis dari posisi 61,52% pada 2013.
Di tengah pelemahan rupiah terhadap dolar, Jahja mengungkapkan BCA dominan menyalurkan fungsi intermediasi kepada perusahaan yang juga berpendapatan valas agar terjadi natural hedging.
Dia menuturkan bahwa BCA tidak akan agresif dalam pinjaman valas.