Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berakhir hari ini, Rabu (20/8/2025).
Konsensus dalam survei Bloomberg menunjukkan sebanyak 30 dari 39 ekonom memperkirakan BI akan menahan suku bunga, sedangkan sisanya memprediksi penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5%.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky memproyeksikan BI akan menahan suku bunga di 5,25%. Dia mengingatkan bahwa inflasi umum melanjutkan tren kenaikan sejak Mei 2025, yang kini menyentuh 2,37% secara tahunan pada Juli 2025.
Teuku tidak menampik bahwa beberapa pekan terakhir modal asing masuk ke pasar keuangan Indonesia sekitar US$1,08 miliar sehingga mendorong penguatan rupiah hingga 1,04% secara bulanan dalam 30 hari terakhir, akibat ekspektasi pemotongan suku bunga oleh bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa mulai berlakunya tarif resiprokal Trump pada awal Agustus ini berpotensi memicu tekanan inflasi di beberapa bulan mendatang sehingga penurunan BI Rate saat ini akan memperparah tekanan inflasi tersebut.
"Oleh karena itu, kami berpandangan Bank Indonesia perlu menahan suku bunga acuannya di 5,25% pada Rapat Dewan Gubernur di Agustus 2025," jelas Teuku dalam keterangannya, Selasa (19/8/2025).
Baca Juga
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede merupakan salah satu ekonom yang memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan. Josua beralasan, inflasi saat ini berada di kisaran bawah target BI 2–4%.
Bahkan, sambungnya, suku bunga kebijakan riil ekspektasian (real policy rate ex-ante) masih positif di kisaran +2,5–3% setelah pemangkasan 25 bps. Oleh sebab itu, dia meyakini posisi BI tetap dinilai longgar secara terukur.
“Tekanan biaya—pangan/energi—mereda, administrated prices relatif stabil, dan output gap belum menutup penuh—semua konsisten dengan penurunan bertahap,” ujar Josua, Selasa (19/8/2025).
Tak hanya itu, dia menjelaskan rupiah menguat sekitar 1,3% month-to-date (MtD) terhadap dolar AS sejak akhir Juli hingga 19 Agustus sehingga menjadikannya salah satu top-3 mata uang Asia. Sementara imbal hasil SBN tenor 10 tahun turun sekitar 15 bps ke kisaran 6,4–6,5%.
Menurut Josua, indikator-indikator itu menandakan premi risiko (risk premium) menyempit dan cadangan devisa tetap terkendali sehingga ruang pelonggaran tidak berisiko memicu volatilitas pasar valuta asing.
Di sisi lain, lelang SRBI tenor 12 bulan menunjukkan imbal hasil rata-rata tertimbang (weighted average yield) pemenang turun sekitar 36 bps sejak 18 Juli (pasca pemangkasan BI Rate pada Juli) hingga 15 Agustus. Pergeseran kurva SRBI yang menurun juga mengindikasikan stance moneter BI semakin longgar.
Josua menambahkan, dengan pertumbuhan ekonomi tetap di kisaran 5% dan kredit tumbuh tinggi, pemangkasan 25 bps akan membantu transmisi ke suku bunga kredit tanpa mengorbankan stabilitas.
“Apalagi BI masih mempertahankan policy-mix [kebijakan campuran] melalui triple intervention [intervensi tiga lapis], instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI untuk meredam volatilitas arus modal dan nilai tukar,” tutupnya.
Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi Indonesia tumbuh di atas ekspektasi pada kuartal II/2025 dengan laju tercepat dalam dua tahun terakhir.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Namun, di balik angka yang impresif itu, analis masih menyimpan keraguan. Pertumbuhan kredit yang seret dan manufaktur yang belum bergairah menjadi catatan penting.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menjadi salah satu yang mempertanyakan data pertumbuhan ekonomi yang berada di atas ekspektasi tersebut.
Ekonom senior dan salah satu pendiri Indef, M. Fadhil Hasan, menilai bahwa konsensus proyeksi para ekonom maupun lembaga biasanya mirip dengan realisasi ekonomi atau hanya memiliki selisih tipis. Namun, anomali terjadi pada kuartal II/2025, ketika para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,8% tetapi realisasinya ternyata mencapai 5,12%.
"Menimbulkan pertanyaan apakah ada metodologi yang harusnya diperbaiki atau disempurnakan, ataukah ada basis datanya, atau sebab-sebab lainnya yang membuat kita belum mengetahuinya secara pasti?" ujar Fadhil dalam diskusi publik yang berlangsung di kantor Indef, Jakarta pada Rabu (6/8/2025).
Melansir Bloomberg, Rabu (20/8/2025), dalam riset bertanggal 15 Agustus, ekonom CIMB Bank Joel Cheung, Lim Yee Ping, dan Michelle Chia menilai BI akan tetap berhati-hati dengan pendekatan berbasis data, termasuk mempertimbangkan ketegangan perdagangan global.
Menurut mereka, lemahnya permintaan domestik dan terkendalinya inflasi utama maupun inti memberi ruang bagi kemungkinan pelonggaran lebih lanjut.
Maybank Securities menilai ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong pertumbuhan yang lebih kuat menuntut kebijakan moneter yang lebih akomodatif.
Ekonom Brian Lee dan Chua Hak Bin memperkirakan suku bunga acuan BI bisa turun hingga 4% pada 2026, termasuk pemangkasan 25 basis poin yang mereka perkirakan dalam RDG hari ini.
Rupiah Menguat, BI Tetap Waspada
Rupiah tercatat menguat lebih dari 1% terhadap dolar AS sepanjang Agustus, berkat derasnya arus modal asing ke obligasi pemerintah dan pelemahan dolar global. Penguatan ini memangkas sebagian kerugian rupiah sepanjang tahun berjalan.
Namun, BI dinilai tetap berhitung untuk menjaga selisih suku bunga dengan The Federal Reserve, yang diperkirakan mulai menurunkan bunga bulan depan. Selisih ini dianggap penting untuk meredam risiko arus modal keluar.
Ekonom Citigroup Helmi Arman menambahkan bahwa tren penurunan kredit, tingginya suku bunga riil, serta minimnya tekanan terhadap rupiah dapat memberi peluang bagi BI untuk lebih cepat beralih ke tingkat suku bunga netral.
“RDG Agustus berpotensi menjadi titik penting,” tulisnya.