Bisnis.com, DENPASAR--Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali mencatat selama periode Januari-April pihaknya menerima sebanyak 60 pengaduan terkait keluhan terhadap lembaga pembiayaan.
Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali I Putu Armaya menilai jumlah laporan itu tergolong banyak jika melihat periode waktunya. Masalah yang diadukan konsumen terkait besarnya biaya administrasi dan dimasukkan ke dalam tagihan, serta mengenai kehadiran jasa penagih utang (debt collector).
Padahal, sebetulnya perjanjian yang dibuat finance tidak punya hak eksekutorial. Kasus ini tidak boleh ada pembiaran. Dia mengungkapkan adanya arogansi debt collector yang terus terjadi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dan perlawanan sistematis yang dilakukan oleh sebagian konsumen terhadap aturan dan sistem perusahaan leasing.
"Pelanggaran finance sangat parah, tidak ada perhatian dari pemerintah. Kehadiran OJK [Otoritas Jasa Keuangan] yang diberikan kewenangan oleh undang-undang malah hanya jadi macan ompong," tudingnya melalui pernyataan tertulis, Rabu (6/5/2015).
Armaya menuturkan saat ini banyak lembaga pembiayaan di Bali menyalurkan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance). Sementara, sebagai lembaga pembiayaan non bank tidak melayani consumer finance seperti yang telah diatur oleh pemerintah dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Bahkan, hasil temuan di lapangan, sejumlah lembaga pembiayaan tersebut tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. YLPK Bali juga mendapati apabila banyak perusahaan pembiayaan melakukan kontrak perjanjian dengan konsumen tidak di hadapan notaris.
"Sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian di bawah tangan karena tidak ada akta notaris sebagai kekuatan hukum atas perjanjian tersebut," tegasnya.
Menurutnya penyimpangan itulah yang menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko tinggi.