Bisnis.com, BANDUNG — Terbitnya beleid soal asuransi pertanian dari Kementerian Pertanian masih sebatas kebijakan di atas kertas tetapi belum terimplementasikan di lapangan. Buktinya, mayoritas kalangan petani di Jawa Barat mengaku belum mengetahuinya akibat tidak adanya sosialisasi.
Apalagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator lembaga jasa keuangan, termasuk di dalamnya industri keuangan non-bank (IKNB), belum diketahui secara pasti kapan akan mengeluarkan peraturan yang lebih rinci terkait asuransi pertanian.
Beleid berupa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 40/Permentan/SR.230/7/2015 yang ditandatangani Mentan Amran Sulaiman pada 13 Juli 2015 itu merupakan regulasi turunan dari UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ilya Avianti mengatakan pihaknya masih membutuhkan serangkaian kajian mendalam untuk bisa akhirnya menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait asuransi pertanian.
“Sebelum regulasi digulirkan tentu ada rule making rule di mana ada benchmarking, ada kajian akademisnya, ada kajian manajemen risikonya. Kami membuat kajian itu tidak hanya soal asuransinya tetapi dikaitkan dengan industri keuangan lainnya, ilmu pertanian, dan sebagainya,” tuturnya belum lama ini di Bandung.
Pihak otoritas memiliki pandangan yang sama dengan Kementan soal perluanya menggulirkan asuransi pertanian di negari agraris seperti Indonesia. OJK pun memasukkan pengembangan asuransi pertanian dalam poin kebijakan stimulus di sektor IKNB.
“Pertanian tidak bisa melawan iklim tetapi bisa direncanakan dan bisa diasuransikan ketika risiko pertanian itu terjadi. Jadi asuransi pertanian ini merupakan terobosan OJK supaya petani kita bisa mengakses ke industri jasa keuangan,” ujarnya.
Saat ditanya adakah batasan atau tenggat waktu dalam merealisasikan stimulus kebijakan OJK terkait asuransi pertanian, Ilya hanya menyatakan pihaknya mengejar secepat-cepatnya dan untuk stimulus kebijakannya sendiri berlaku selama dua tahun.