Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berharap Pada yang Punya Cuan

ERA pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebenarnya bisa menjadi berkah bagi para pencari modal mini. Pasalnya, di masa pemerintahan ini, berbagai pinjaman mikro 'murah' digelontorkan.
Tumpukan uang/Ilustrasi
Tumpukan uang/Ilustrasi

ERA pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebenarnya bisa menjadi berkah bagi para pencari modal mini. Pasalnya, di masa pemerintahan ini, berbagai pinjaman mikro 'murah' digelontorkan. 

Lihat saja, di era ini, bunga pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) dibabat dari 21% menjadi hanya 12%. Bahkan, sang Wakil Presiden berniat, bunga KUR bisa dipangkas lagi menjadi hanya 9% pada tahun depan. 

Sementara itu, target tinggi KUR dengan jangka waktu penyaluran yang pendek membuat bankir gencar menggelar kemitraan. Salah satu hasilnya, yakni peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan keluarganya yang memiliki usaha produktif bahkan bisa menikmati KUR. 

Lalu, ada pula program sejuta rumah. Program ini menawarkan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang jauh di bawah rerata bunga industri. Tepatnya hanya 5% fix hingga 20 tahun. 

Belum lagi aksi para bankir lain yang menurunkan bunga KPR ke level satu digit untuk menggenjot permintaan kredit baru. Aksi yang dimulai PT Bank Central Asia Tbk. tersebut juga mulai menular ke PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Bahkan, beberapa bank menengah lainnya pun mulai memasang bunga KPR single digit. 

Tak hanya bunga, Bank Indonesia (BI) bahkan mengeluarkan kebijakan makroprudensial dengan menaikkan loan to value (LTV). Artinya, kebijakan ini membuat debitur tak lagi perlu membayar uang muka yang tinggi. Adalagi stimulus kebijakan dengan perubahan perhitungan loan to funding ratio (LFR) agar bank bisa lebih leluasa menyalurkan kredit. 

Tak ketinggalan, OJK mengeluarkan paket kebijakan dengan 12 jurus bagi bank untuk meningkatkan kredit dan menekan risiko aset. 

Namun buktinya, obral bunga dan berbagai stimulus tersebut tak lantas membuat dagangan kredit bank laris dalam semalam. Sebab, yang tersendat bukan di sisi suplai, melainkan dari segi permintaan kredit yang masih melempem. 

Relaksasi di sisi penawaran ini memang belum mampu mengerek kredit secara signifikan. Lalu, apa obat mujarab untuk mengobati lesunya permintaan? 

"Dengan memperlancar penyaluran APBN [anggaran pendapatan dan belanja negara] dan APBD [anggaran pendapatan dan belanja daerah] yang akan menggairahkan rekanan, kontraktor, dan menyerap tenaga kerja sehingga daya beli meningkat. Kalau daya beli bagus, dagangan laku, maka diperlukan tambahan modal kerja dan investasi baru. Dan terus berakselerasi positif," kata Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja ketika dihubungi Bisnis.com, belum lama ini.   

Dampak peningkatan penggelontoran dan penyerapan belanja modal pemerintah memang langsung berdampak nyata bagi perekonomian. 

Gubernur BI Agus D. W. Martowardojo mengemukakan penyerapan belanja modal pemerintah yang meningkat 38,8% hingga Oktober 2015 membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2015 naik ke 4,73% dari 4,67% di kuartal sebelumnya. Peningkatan juga terlihat pada laju kredit yang terkerek dari posisi 9,83% y-o-y per Juli 2015 menjadi 11,19% y-o-y di Agustus 2015. 

Sementara itu, pelonggaran kebijakan LTV memang berdampak signifikan pada kredit properti real estate dan konstruksi. Meski begitu, stimulus ini baru membuat KPR naik 7,3% y-o-y secara keseluruhan. 

Jahja juga mengakui saat ini perusahaan tak memiliki masalah di sisi likuiditas. Wajar saja, LFR emiten bersandi saham BBCA ini masih di level 78%. Atau di batas bawah ketetapan bank sentral. 

"Cuma saja memang permintaan kredit yang melemah karena penjualan kebanyakan menurun sehingga kebutuhan modal kerja dan investasi baru belum ada," kata Jahja. 

Nah, jika obral murah bunga kredit belum laku, bukan berarti karena bunga yang kurang murah. Namun, bisa jadi juga disebabkan karena pembeli tak punya cuan untuk membeli barang obralan tersebut. 

Jadi, sekarang akselerasi pertumbuhan ekonomi bergantung pada aliran dana dari yang punya duit. Pasalnya, aliran dana tersebut membuat daya beli masyarakat naik, ekonomi tumbuh, dan mengerek permintaan kredit. 

Lalu, jika pihak swasta mulai gencar melakukan efisiensi untuk menghemat duit, jadi siapa yang punya cuan untuk menggerakkan ekonomi? 

Jangan lupa, tahun ini pemerintah punya target pengeluaran atau belanja negara sebesar Rp1.984,1 triliun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper