Bisnis.com,JAKARTA Kendati sudah ada kepastian dari bank sentral Amerika Serikat lewat kenaikan Fed funds rate dari 0,25% menjadi 0,5%, Bank Indonesia diimbau tetap harus berhati-hati jika ingin merespons kondisi tersebut lewat pelonggaran kebijakan moneter.
Kendati nilai tukar rupiah tidak langsung terdepresiasi lebih dalam pasca normalisasi kebijakan the Fed, ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menilai pengurangan dosis BI rate saat ini masih mengkhawatirkan dan belum bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional masa mendatang.
"Belum saatnya dan belum bisa. BI rate bukan satu-satunya faktor pendorong pertumbuhan ekonomi," ujarnya, Senin (21/12/2015).
Menurutnya, penurunan harga minyak mentah dunia menjadi salah satu risiko yang harus diwaspadai karena bisa menekan nilai tukar rupiah. Jika harga minyak mentah terus turun, sambungnya, harga komoditas lain juga akan ikut terdepresiasi.
Seperti diketahui, harga minyak terus merosot ke level terendah dalam tujuh tahun terakhir. Pada perdagangan akhir pekan lalu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 0,37% menjadi US$34,82 per barel, sedangkan harga minyak Brent naik 0,16% menjadi US$37,12 per barel.
Karena mayoritas ekspor Indonesia berasal dari komoditas, efek domino dari penurunan harga minyak tersebut pada akhirnya menggerus penerimaan ekspor. Akibatnya, suplai valas akan ikut terganggu di saat arus modal dari portofolio juga belum bisa diharapkan.
Menurutnya, kebijakan terkait devisa hasil ekspor seharusnya segera dijalankan. Setidaknya, akan ada tambahan suplai valas apabila devisa hasil ekspor 100% masuk dan dikonversikan ke rupiah. Dari sisi investasi asing langsung, lanjutnya, memang ada modal yang tercatat masuk dalam neraca. Namun, mayoritas investor membawa barang sehingga menekan neraca transaksi berjalan dengan tambahan impor.
Selain itu, salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki performa suplai valas yakni lewat utang, terutama dari global bond. Dalam situasi seperti ini, perbesaran porsi valas hingga 30% dari total penerbitan SBN bruto Rp532,4 triliun yang direncanakan Kemenkeu seharusnya diarahkan pada suplai dolar AS.
Melihat kondisi-kondisi tersebut, Lana mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa didorong lewat peningkatan permintaan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa stimulus fiskal dan pengaturan harga energi akan mampu mengkatrol daya beli masyarakat.
"Kalau dengan kebijakan [pelonggaran] moneter ancamannya rupiah.Memang enggak ada yang bisa menjamin ancamannya besar atau tidak, tapi kalau tembus Rp14.800-Rp15.000 per dolar AS, [beban] pengusaha berat. Berani enggak BI rate turun, pengusaha repatriasi?" tegasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI menegaskan kembali peluang pelonggaran moneter RI semakin terbuka dengan langkah the Fed. Dia mengatakan, pihaknya kini hanya membutuhkan waktu sebulan untuk mengonfirmasi data-data yang ada.
Bahan Bakar Minyak
Menko Perekonomian Darmin Nasution berujar akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan akan dilakukan dengan modal utama APBN. Oleh karena itulah, dalam jangka dekat pemerintah akan segera melakukan revisi terhadap APBN 2016 agar lebih kredibel dan tepat sasaran, terutama terkait dengan target penerimaan pajak.
Kendati sudah ada eksekusi kenaikan Fed funds rate, lanjutnya, masih akan ada perkembangan lanjutan kebijakan bank sentral yang perlu dikalkulasi. Dengan demikian, pemerintah memang sedang mempelajari lagi soal suplai valas dan volatilitas kurs rupiah.
"Memang kita sedang mencoba melihat bukan hanya soal tingkat bunga. Jadi ada banyak hal yang kita bicarakan dan persiapkans sekarang ini, mungkin ada juga perubahan aturan, tapi masih perlu waktu untuk itu," jelasnya.
Terkait dengan peluang penurunan harga bahan bakar minyak (BBM), Darmin mengaku hingga saat ini belum ada penjelasan rinci dari kementerian/lembaga terkait. Kendati mengakui ada penurunan harga minyak dunia akhir-akhir ini, dia masih tidak bisa menjanjikan kebijakan apapun terkait harga BBM.
Ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Dirut PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan peluang penurunan harga BBM selalu ada, tapi pihaknya masih akan membicarakannya dengan Kementerian ESDM terkait dengan harga dan nilai tukar rupiah.
"Peluang selalu ada. Dalam minggu-minggu ini [kita bicarakan], Kita lihat sekarang untuk tiga bulan lalu berkaitan dengan dolar AS yang naik, masih imbang. Nanti kita lihat strategi ke depan," katanya.