Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja kelompok bank asing sepanjang tahun lalu bak kapal diterjang badai. Laba bersih kelompok bank itu merosot untuk pertama kalinya setelah sejak 2012 terus mencatatkan pertumbuhan positif. Ada apa gerangan?
Bila melihat data statistik perbankan indonesia Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepanjang sebelas bulan tahun lalu, laba bersih kelompok bank asing di Indonesia itu merosot 30,16% dibandingkan dengan periode sama pada 2014.
Eric Sugandi, Direktur Riset Kenta Institute, menjelaskan kelompok bank asing tertekan sepanjang 2015 karena porsi kreditnya lebih besar disalurkan kepada korporasi daripada segmen ritel. Padahal, korporasi kurang ekspansif sepanjang tahun lalu karena tertekan perlambatan ekonomi dan pelemahan harga komoditas.
“Belum lagi depresiasi rupiah yang membuat bank asing cenderung konservatif dalam memberikan lending berbentuk valas, terutama untuk debitur yang memperoleh pendapatannya dalam rupiah,” ujarnya kepada Bisnis.com pada Kamis (4/2/2016).
Di sisi lain, Toni Prasetiantono, ekonom Universitas Gadjah Mada, menyebutkan kelompok bank asing memang menerima tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok bank lainnya dari situasi ekonomi saat ini.
“Bank asing yang dominan memiliki exposure kredit di sektor minyak dan pertambangan terpukul oleh anjloknya harga minyak dan komoditas primer lainnya sepanjang tahun lalu,” ujarnya.
Sepanjang tahun lalu, Bloomberg Commodity Index yang merepresentasikan 22 harga komoditas global memang merosot 26,23%, sedangkan nilai tukar rupiah melemah sebesar 11,22%.
Beberapa waktu lalu, Lance Kawaguchi, Kepala Sektor Global Bagian Sumber Daya Alam dan Energi Group HSBC, mengakui anjloknya harga komoditas termasuk harga minyak membuat korporasi sektor itu mengurangi kuantitas kreditnya karena efisiensi.
“Akan tetapi, kami tetap akan mendukung sektor minyak dan gas (migas) dengan membantu efisiensi lewat aktivitas di luar produksi seperti mempermudah proses pembayaran dan membantu restrukturasi,” ujarnya.
Selaras dengan situasi itu, pertumbuhan sindikasi pinjaman kelompok bank asing di Indonesia pun mengalami penyusutan sepanjang tahun lalu. Persentase rentang penyusutan pemberian kredit sindikasi oleh kelompok bank asing itu cukup beragam sekitar 19% sampai 76% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Penurunan pinjaman sindikasi paling tajam terjadi pada Deustche Bank sebesar 76,87% menjadi US$136,67 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan HSBC mengalami penurunan paling kecil sebesar 19,78% menjadi US$447,69 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun, kelompok bank asing itu rata-rata memberikan kredit sindikasinya kepada korporasi industri tekstil, minyak dan gas (migas), sawit, dan logam.
Beberapa korporasi itu seperti PT Pertamina (Persero), PT Rukun Raharja Tbk., PT Pan Brothers Tbk., PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel industri, PT Royal Industries Indonesia, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. dan sebagainya.
Sebelumnya, Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK menilai penurunan laba bersih kelompok bank asing itu disebabkan oleh kenaikan pencadangan kerugian penurunan nilai.
Aksi menaikkan pencadangan itu mungkin disebabkan karena ada sektor pengkreditan yang tertekan. Sayangnya, ketika Bisnis ingin mengonfirmasi kepada pihak kelompok bank asing di Indonesia belum ada yang merespons, dan lebih terkesan tertutup.
Pihak HSBC Indonesia menuturkan pihaknya belum bisa memberikan jawaban hingga 22 Februari nanti, sedangkan pihak Deustche Bank Indonesia juga belum bisa menjawab sampai ada pendampingan dari sekretaris perusahaan di Singapura. Lalu, Citibank Indonesia enggan menjawab dengan alasan sang bos cabang Indonesia Batara Sianturi sedang berada di luar negeri
Sementara itu, Eric menilai kinerja kelompok bank asing bisa membaik pada tahun ini kalau berhasil mengurangi exposure ke sektor migas dan pertambangan. Peningkatan alokasi kredit korporasi di sektor yang prospektif seperti consumer goods bisa menjadi pilihan alternatif.
Pasalnya, sektor komoditas masih dalam tekanan pada tahun ini, meskipun tidak separah tahun lalu. Harga minyak yang sampai penutupan akhir pekan lalu kembali merosot 2,62% menjadi US$30,89 per barel menjadi indikator kuat sektor komoditas masih sulit untuk bangkit pada tahun ini. ()