Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

JELANG PENGUMUMAN RDG BI Februari 2016: Inikah Senjakala Suku Bunga Tinggi?

Tekanan untuk menurunkan tingkat bunga acuan atau BI Rate kembali menguat jelang Rapat Dewan Gubernur, 17-18 Februari 2016.
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia hanya punya waktu tidak lebih dari dua-tiga minggu untuk sekadar menghela napas.

Tekanan untuk menurunkan tingkat bunga acuan atau BI Rate kembali menguat jelang Rapat Dewan Gubernur (RDG), 17-18 Februari 2016.

Tidak hanya dari kalangan ekonom dan pelaku usaha, beberapa pejabat pemerintah baik secara implisit dan eksplisit juga meminta agar bank sentral memangkas lagi suku bunga acuan.

Sebab, penurunan 0,25% menjadi 7,5% pada RDG edisi Januari 2016 dianggap tidak memadai untuk mengerek tingkat bunga kredit (lending rate) turun, meskipun para petinggi sejumlah bank besar telah dan tengah bersiap menurunkan tingkat bunga mereka.

Hingga saat ini, tercatat BNI dan BCA telah menurunkan lending rate untuk ritel, lalu BTN untuk KPR, diikuti BRI untuk bunga kredit non-KUR. Sementara, Bank Mandiri menyatakan bersiap menurunkan suku bunga kredit pada akhir semester pertama karena menunggu likuiditas agak melonggar.

Kebijakan moneter ketat dan agak-agak hawkish yang dianut otoritas moneter dalam tiga tahun belakangan memang banyak digugat.

Bahkan, ekonom dan pemerhati ekonomi yang lebih radikal menuding posisi inilah yang menjadi salah satu faktor kunci kenapa laju produk domestik bruto RI meninggalkan era 6% dan terus tersungkur.

Namun publik mungkin lupa jika dalam satu dasawarsa terakhir, Agus D.W. Martowardojo, Gubernur BI saat ini, adalah salah satu yang paling hati-hati.

Jika dianalogikan dalam sepakbola, BI lebih suka memakai strategi catenaccio yang terkenal sangat kaku namun efektif untuk membangun tembok pertahanan dengan kokoh.

Usai dilantik pada 23 Mei 2013, Sang Gubernur langsung menaikkan BI Rate ketika RDG pertamanya dari 5,75% ke 6%, dan hanya butuh tambahan tiga bulan untuk membuat suku bunga acuan naik 1,50% dan bertengger di level 7,50%, sebelum kemudian ditahan selama setahun.

Meski menimbulkan berbagai kritik dan kecaman, BI tetap kukuh. Hasilnya--dan ini yang sering dilupakan banyak orang--defisit transaksi berjalan yang pernah bertengger di kisaran 4,24% pada triwulan kedua 2013 terpangkas lebih dari setengahnya menjadi 2,04% pada Q4/2015.

Seorang kawan yang telah lama bekerja untuk salah satu agensi think-tank pemerintah pernah mengeluhkan kekakuan bank sentral ini.

Dia menyebutkan, pada awal kuartal III tahun lalu pemerintah sejatinya telah memberikan kepada BI masukan bahwa inflasi 2015 akan jatuh ke level 3% di penghujung tahun, dari kisaran 6%-8% sepanjang setahun lamanya. Artinya, membuka lebar-lebar ruang bagi BI untuk sedikit memberikan pelonggaran moneter.

Namun, BI justru menanti the Federal Reserve mengeksekusi kenaikan tingkat bunga yang dianggap sudah niscaya (atau istilah yang kerap dipakai, behind the curve).

Lebih lanjut, kawan ini menuturkan BI semestinya bisa memberikan shock (dalam terma positif) kepada pasar berupa pemotongan BI Rate yang berarti mendahului ekspektasi pasar (ahead the curve).

Apabila BI menempuh langkah itu pada waktu tersebut, dia mengatakan perekonomian bisa menggeliat lebih cepat dan laju pertumbuhan bisa lebih meyakinkan.

Kini, beberapa saat jelang RDG diumumkan, pasar yang diwakili oleh konsensus ekonom sepakat BI punya ruang untuk melonggarkan kebijakan moneternya lagi.

Pelonggaran tingkat bunga acuan memang meningkatkan gairah aktivitas ekonomi.

Tapi, seperti yang diajarkan oleh banyak studi pascakrisis keuangan 2008: kebijakan suku bunga acuan memang bisa mempengaruhi apapun, namun tidak akan bisa menyelesaikan secara tuntas masalah apapun.

Lagipula, terselip masalah yang lebih mendasar, yaitu bagaimana impor bahan pangan pokok bisa sedikit demi sedikit dikurangi.

Bagaimanapun, pemenuhan kebutuhan pangan dari dalam negeri lebih menguntungkan untuk orang banyak.

Dalam beberapa tahun, harga yang didapat dari impor seringkali lebih rendah dibandingkan dengan harga dari dalam negeri--yang lagi-lagi, terantuk masalah konektivitas alias transportasi, logistik plus infrastruktur.

Namun, barang impor selalu berhadapan dengan dua risiko kejut: pertama, selama the Fed belum mengumumkan penurunan fed funds rate (FFR) dan memulai operasi moneter seperti yang mereka lakukan ketika merespons krisis finansial global 2008, nilai tukar rupiah akan terus terombang-ambing. Barangkali lebih tepatnya, tertekan atau tertekan lebih dalam lagi.

Kedua, apabila pasar menangkap ada indikasi situasi ekonomi global membaik, harga-harga akan naik mengikuti hukum suplai dan permintaan. Pemain skala global akan kembali menghimpun minyak mentah untuk mengantisipasi pertumbuhan, dan tidak berselang lama, mendorong harga seluruh komoditas global.

Sayang sekali apabila anggaran Kementerian Pertanian yang terus membengkak dari tahun ke tahun tidak diikuti dengan capaian penurunan importasi bahan pangan. Tercatat, Kementan mendapat peningkatan alokasi hingga lebih dari 100%--Rp32 triliun pada 2014 menjadi Rp15,47 triliun untuk 2015--justru tidak mampu menahan gelombang impor.

Dari catatan Bisnis, realisasi impor beras 2015 melesat jadi 800.000 ton dari tahun sebelumnya yang hanya 420.000 ton. Lalu, Impor jagung 2015 naik menjadi 2,72 juta ton dari 2014 sebesar 2,58 juta ton, disusul impor kedelai 1,96 juta ton pada 2015 dari 1,92 juta ton pada 2014.

Atau, reshuffle terhadap pucuk pimpinan Kementerian Perdagangan yang justru malah membuat instabilitas harga bahan pokok. Setiap kali ditanya oleh wartawan mengenai persoalan harga yang menjadi tupoksinya, Thomas Lembong, Menteri Perdagangan yang baru selalu mengelak atau bungkam, dan lebih sibuk berbicara mengenai kontestasi perdagangan internasional.

Seperti yang berkali-kali kita alami sebelumnya, otoritas apapun di negeri ini akan lempar handuk ketika dihadapkan dengan dua kejutan itu. Mulai pertengahan 2013 atau sering disebut sebagai era taper tantrum, sepanjang 2014 hingga setidaknya awal paruh akhir 2015 peristiwa rontoknya rupiah berulang lagi dan lagi.

Akhirnya, bank sentral dipaksa untuk kreatif dan mengiringi paket kebijakan yang ditelurkan pemerintah untuk meredam gejolak ini. Kebetulan pula, paket kebijakan ini dilansir pada saat yang tepat--seiring dengan membaiknya penyerapan belanja pemerintah yang mengangkat level pertumbuhan domestik.

Dengan latar 'reformasi' subsidi BBM pada November 2014, ancaman inflasi dari komponen harga barang yang diatur pemerintah agak berkurang. Sementara, inflasi inti yang mencerminkan cenderung flat, bahkan melandai seiring perlemahan aktivitas ekonomi.

Yang jamak diketahui, ketika inflasi dari komponen volatile food tidak terkendali, maka capaian stabilisasi inflasi dari komponen administered prices dan inti akan pupus. Gejolak harga bahan pangan kini menjadi satu-satunya ancaman yang harus ditangani secara serius. Apabila kolaborasi kedua otoritas ini gagal mengendalikan harga bahan pangan, inflasi secara keseluruhan akan kembali membumbung dan mempersempit jarak dengan suku bunga acuan.

Berikutnya mudah ditebak, Bank Sentral Republik Indonesia akan menjadi benar-benar hawkish dan kembali mengeksekusi satu-satunya langkah yang mereka tahu demi menjaga nilai tukar rupiah dan stabilitas makro selama beberapa tahun belakangan: menaikkan BI Rate.

 

Pergerakan BI Rate 2013-2016

  • Periode (%)
  • Mei 2013 5,75 
  • Juni 2013 6,00
  • Juli 2013 6,50
  • Agustus 2013 7,00
  • September 2013 7,25
  • November 2013 7,50
  • November 2014 7,75
  • Februari 2015 7,50
  • Januari 2016 7,25

Sumber: Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arys Aditya
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper