Bisnis.com, JAKARTA--Menyongsong 2017, bank-bank mulai merancang strategi bisnisnya. Sembari bersih-bersih kredit bermasalah, sejumlah bank mendeklarasikan arah bisnis baru.
Mengurangi porsi kredit korporasi dan fokus di segmen retail.
Para bankir tampaknya tak ingin terjerembab ke lubang yang sama dua kali. Mereka sadar bila penyaluran kredit di segmen korporasi tak lagi semanis dulu.
Jatuhnya harga komoditas andalan seperti batu bara dan minyak bumi tak pelak membuat rasio kredit bermasalah bank (NPL) melonjak drastis.
Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio NPL pada Juli 2106 mencapai 3,18% atau senilai Rp131,42 triliun. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang tahun ini.
Hasil riset Mandiri Sekuritas, tiga sektor yang menjadi penyumbang NPL terbesar sepanjang 2016 semuanya dari segmen korporasi. Masing-masing adalah pertambangan, manufaktur dan logam.
Itu baru data di pertengahan tahun. Mandiri Sekuritas memprediksi puncak NPL baru akan terjadi pada akhir tahun ini.
Oleh karena itu, wajar bila beberapa bank secara terang benderang mengatakan akan memperbesar porsi kredit retail. Beberapa produk yang menjadi andalan ialah kredit perumahan (KPR) dan kartu kredit (KK).
Direktur Strategy and Finance PT Bank CIMB Niaga Tbk. Wan Razly menuturkan, selama ini perseroan menyeimbangkan portofolio empat pilar bisnis yakni korporasi, komersial, konsumer dan small and medium enterprise (SME).
"Tapi mulai tahun depan kami akan menaikkan porsi kredit konsumer dan SME. Sekitar 55% dibanding korporasi dan komersial," katanya.
Rencana bisnis bank asal Malaysia ini bakal memberi warna baru bagi industri perbankan tahun depan. Apalagi, bila kinerja keuangan CIMB konsisten hingga akhir tahun, di 2017 mereka akan masuk ke jajaran Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV.
Begitu pula dengan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Bank yang ingin masuk jajaran BUKU III tahun depan ini dalam tiga tahun kedepan ingin porsi kredit retail mencapai 60%. Selama ini kredit Muamalat masih didominasi oleh segmen korporasi dan komersial dengan persentase 60% berbanding 40%.
Endy Abdurrahman, Direktur Utama Muamalat mengatakan ujung tombak dari perubahan arah bisnis tersebut adalah pembiayaan perumahan (KPR).
Hal tersebut juga sebagai respon dari kebijakan Bank Indonesia yang merelaksasi ketentuan loan to value (LTV) atau finance to value(FTV).
"KPR akan jadi main driver. Kami pilih KPR karena risikonya relatif rendah dibanding korporasi," ujarnya.
Sepanjang tahun lalu saja, outstanding KPR mencapai Rp9 triliun. Tahun ini, Muamalat menargetkan pertumbuhan KPR sebesar Rp1,8 triliun.
Selain program angsuran KPR setara bunga 5% di bank konvensional, beberapa waktu lalu Muamalat juga menjalin kerja sama dengan klub sepakbola asal Inggris, Arsenal FC.
PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) pun tak ingin ketinggalan. Bank BUKU I ini juga akan masuk ke segmen retail lewat produk KPR murah.
Boyke Lesmana, Head of Consumer Loan BKE mengatakan pada akhir tahun ini atau paling lambat awal tahun depan pihaknya akan melaksanakan ujicoba produk.
"Kami serve yang rumah Rp300 juta ke bawah. Karena kami rasa kami bisa menyusun model bisnis di segmen itu," katanya.
Serupa dengan CIMB Niaga dan Muamalat, BKE juga berencana lompat kelas tahun depan. Menarik untuk dinantikan seperti apa kiprah bank-bank yang naik kelas dengan warna bisnis yang baru.