Bisnis.com, JAKARTA— Moody’s Investor Service memutuskan merevisi naik outlook-nya terhadap bank-bank di Asia-Pasifik dari negatif menjadi stabil.
Keputusan itu didasarkan pada risiko dan kondisi operasi di sektor perbankan di kawasan tersebut telah berada pada posisi yang stabil atau membaik.
"Kualitas aset di mayoritas sistem perbankan cenderung stabil. Kondisi itu seirama dengan rendahnya siklus kredit di mayoritas sistem perbankan Asia-Pasifik dan dibarengi oleh perbaikan ekonomi yang moderat di Asia-Pasifik,serta mulai stabilnya harga komoditas," kata Stephen Long, Managing Director Moody's, seperti dikutip dari keterangan resminya, Selasa (4/7/2017).
Kesimpulan Moody’s tersebut terdapat dalam laporan terbaru outlook tahunan bank di Asia Pasifik yang diterbitkan pada 3 Juli 2017 yang berjudul "Banks - Asia Pacific, Stabilizing credit cycle". Laporan ini akan memengaruhi kelayakan kredit dari industri perbankan Asia-Pasifik dalam 12-18 bulan ke depan.
Long menambahkan, 77% outlook perbankan di Asia-Pasifik berada pada level stabil. Jumlah itu naik dari akhir tahun lalu yang hanya mencapai 64%. Kondisi yang relatif positif pada bank-Bank di China, Hong Kong, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Mongolia menjadi penyumbang terbesar revisi naik outlook kawasan ini menjadi stabil.
Akan tetapi lembaga pemeringkat dunia ini memperingatkan bahwa level kredit korporasi dan rumah tangga di beberapa negara kawasan ini relatif masih tinggi. Meksipun, persoalan kredit macet akibat harga komoditas telah mereda di kawasan ini.
Pulihnya harga komoditas diharapkan mampu memperbaiki kualitas aset bank-bank di kawasan ini. Profitabilitas sektor perbankan juga akan mulai pulih di beberapa negara karena biaya kredit yang lebih rendah dan marjin bunga bersih (NIM) yang membaik.
Moody’s juga melihat adanya sentimen positif melalui kencangnya aliran modal asing yang masuk ke negara-negara berkembang Asia-Pasifik. Akan tetapi, tingginya arus modal masuk itu berpotensi terhenti atau bahkan berbalik ketika muncul sejumla sentimen seperti kembali naiknya suku bunga AS, proses pemulihan China dan sentimen geopolitik di sejumlah kawasan di dunia.
Selanjutnya, naiknya harga properti sejumlah negara, memperkuat munculnya risiko koreksi yang dalam pada kredit perbankan di sejumlah negara. Risiko terkait properti paling besar ada di Australia, China, Hong Kong, Selandia Baru, Malaysia, dan India
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel