Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia atau Perbarindo mengajak para pelaku bank perkreditan rakyat supaya lebih inovatif dalam memberikan produk dan layanan perbankan kepada masyarakat.
Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto mengatakan semula bank perkreditan rakyat atau BPR cenderung hanya memikirkan cara konvensional. Ke depan, sejalan dengan pesatnya digitalisasi di industri keuangan maka BPR harus siap berkolaborasi dengan pelaku teknologi finansial.
"BPR harus mulai mencoba bisnis model yang digital dengan cara bisnis model yang dielaborasi sehingga bagaimana caranya BPR dapat mengantisipasi kehadiran perusahaan teknologi finansial [tekfin],” ucapnya di Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Perbarindo berharap BPR yang ada di Indonesia dapat lebih terbuka dalam menyambut kehadiran perusahaan teknologi finansial (tekfin). Alih-alih bersaing sebaiknya dilakukan kolaborasi mengingat ada kemungkinan tekfin bakal merambah pasar yang selama ini digeluti BPR.
Kolaborasi antara BPR dan tekfinpun harus dijalani secara cermat. Dengan kata lain, skema kerja sama harus sejalan dengan aturan yang berlaku baik di industri perbankan maupun teknologi finansial, sehingga memberi layanan yang aman dan transparan kepada nasabah.
"Kolaborasi amat penting di industri keuangan, maka kehadiran industri ini [tekfin] jangan sampai mendegradasi institusi lain yang sudah ada seperti BPR dan BPRS. Indonesia juga jangan hanya menjadi pasar bagi pelaku tekfin,” ucap Joko.
Perbarindo pun menilai BPR harus segera berinovasi dalam layanan perbankan digital. “Biaya dana tinggi karena CASA BPR belum tumbuh signifikan. Solusinya ke depan, BPR harus mengembangkan dana-dana murah dengan berbagai inovasi layanan digital,” katanya.
Layanan digital yang dimaksud Joko contohnya adalah kerja sama jaringan ATM dengan bank-bank umum serta kolaborasi untuk menerbitkan uang elektronik. Untuk bisa terjun lebih jauh dalam perbankan digital, permodalan BPR harus diperkuat terlebih dulu.
Penguatan kiprah BPR tidak hanya perlu ditempuh melalui perbaikan layanan tetapi juga manajemen. Hingga kini setiap tahun ada saja bank perkreditan rakyat yang dilikuidasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
“Secara paralel harus dilakukan perbaikan pula secara internal bank mencakup SDM-nya baik dari sisi integritas maupun attitude mereka,” tutur Joko.
Di samping itu, menurutnya, kendatipun BPR yang dilikuidasi terus ada tetapi jumlahnya sangat jauh lebih sedikit dibandingkan populasi BPR yang ada. BPR yang dilikuidasi pada umumnya memang tidak memiliki manajemen yang sehat.
Kondisi tersebut pada akhirnya berimbas kepada penurunan kinerja perseroan. Secara umum, menurut Joko, manajemen yang tak beres didasari atas ketidakjujuran dan penyimpangan aturan yang berlaku.
Lembaga Penjamin Simpanan pada 14 September lalu telah merilis data terkait penanganan terhadap 81 bank yang telah dicabut izin usahanya sampai dengan periode Agustus 2017. Dari 81 BPR yang dilikuidasi, terdapat satu Bank Umum, 75 bank BPR, dan 5 BPR Syariah. Bank yang telah selesai proses likuidasinya sebanyak 1 bank umum, 63 BPR, serta 3 BPR Syariah.