Bisnis.com, JAKARTA - Price Waterhouse Cooper (PWC) Indonesia kembali merilis hasil survei mengenai industri perbankan di Tanah Air yang bertajuk Survei Perbankan Indonesia 2018.
Pada survei yang dipaparkan oleh David Wake, Financial Services Leader PwC Indonesia di hadapan sejumlah bankir, Selasa (27/2) di Hotel JW Marriott, Kuningan, tersebut dapat diambil beberapa ringkasan, yakni di antaranya:
Pertama, teknologi dan perubahan kebutuhan nasabah menjadi penggerak transformasi usaha di sektor perbankan Indonesia. Risiko teknologi dan disrupsi teknologi finansial (tekfin) dipandang sebagai risiko terbesar pertama serta kedua bagi industri perbankan di Indonesia.
Kedua, peran kantor cabang konvensional mulai tergusur fungsinya dengan hadirnya jalur digital untuk bertransaksi.
Ketiga, strategi-strategi mengalami perubahan aktif , hanya 8% responden mempunyai strategi yang sama selama 18 bulan terakhir. Hampir 50% responden mempunyai strategi yang baru pada periode tersebut.
Keempat, tren prospek 2018 adalah optimistis tetapi tetap berhati-hati. Sebanyak 75% bankir yang disurvei mengharapkan peningkatan yang relatif sedang untuk pendapatan bersih. Optimisme di antara bank-bank asing terus menurun, di mana sepertiganya memperkirakan tidak ada peningkatan.
Kelima, kredit konsumen akan menggerakkan pertumbuhan kredit secara keseluruhan. Sebanyak 71% responden mengharapkan pertumbuhan kredit konsumen 10% lebih tinggi dibandingkan dengan 58% pada 2017. Pertumbuhan kredit usaha diperkirakan relatif stabil secara year-on-year.
Keenam, masih terdapat kekhawatiran yang cukup besar terhadap risiko kredit sebagai salah satu tantangan pertumbuhan, walaupun 65% responden memperkirakan adanya penurunan jumlah kredit bermasalah (NPL), yang mengindikasikan perbaikan sentimen terhadap risiko kredit. Lemahnya permintaan menjadi kekhawatiran yang semakin besar.
Ketujuh, para bankir optimistis soal pertumbuhan margin bunga bersih (NIM), bahkan mungkin terlalu optimistis.