Bisnis.com, DENPASAR—Pelaku industri peer to peer lending atau P2P mendirikan wadah khusus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau Afpri untuk lebih fokus mengembangkan dan memperkuat segmen ini terhadap industri keuangan nasional.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan asosiasi baru ini diharapkan membantu OJK mencegah potensi risiko dari membesarnya industri teknologi financial (tekfin) di Tanah Air. Menurutnya, asosiasi yang diketahui Adrian A Gunadi dari Investree ini akan bersinergi dengan regulasi OJK.
“Asosasi ini murni P2P lending yang ke depan menyesuaikan dengan POJK, sementara kalau di Aftech itu kan bermacam-macam platform, ada yang tunduk pada Undang-undang BI dan yang e commerce dengan Kominfo. Asosiasi ini akan bersinergi ketika ada isu umum Aftech tapi ketika P2P lending maka asosiasi in berbicara,” jelasnya ditemui di Seminyak, Jumat (26/10/2018).
Menurutnya, wadah asosiasi ini sudah terbentuk dan memiliki 8 struktur kompartemen dengan spesialisasi masing-masing untuk mendukung tekfin semakin kuat. Keberadaan asosiasi ini diharapkan mampu membantu regulator dalam mengembangkan industrik tekfin semakin kuat.
Dia menjelaskan asosiasi akan mengawal industri tekfin ke depan yang akan semakin berat karena ada dua pihak harus diperhatikan yakni lender dan borrower. Masing-masing memiliki isu yang harus ditangani dengan baik. Lender terkait bagaimana dana mereka tidak hilang dan data tidak disalahgunakan. Adapun isu borrower yang masih hangat terkait praktik penagihan tidak manusia hingga pembebanan bunga tinggi.
Regulator pada saat ini baru memberikan izin tekfin sebanyak 73 pelaku. Ke depannya diperkirakan bisa semakin banyak karena sudah ada 47 perusahaan dalam proses pendaftaran, 59 perusahaan yang pendaftarannya dikembalikan dan 38 perusahaan menyatakan minat. Hingga akhir September, industri in sudah menyalurkan pinjaan senilai Rp13,8 triliun. Dari jumlah itu, penyaluran di luar jawa senilai Rp2,2 triliun.
Sementara total akumulasi rekening lender sudah 161.297 entitas atau naik 59,76% jika dibandingkan capaian akhir 2017. Rekening borrower tercatat sebanyak 2.300.007 entitas atau meroket hingga 785%. Karakteristik pinjaman, rerata pinjaman terendah Rp51,86 juta dan rerata disalurkan Rp69,69 juta. Hendricus menekankan industri tekfin di Indonesia jangan sampai berakhir seperti di China dimana banyak ditutup karena tidak sehat.
“Harapannya ke depan industri ini mampu menjadi kuat dan sehat berkontribusi terhadap industri keuangan nasional yang sehat. Ciri sehat itu, masyarakat dapat meminjam dengan mudah dan pada saat jatuh tempo bisa mengembalikan,” tuturnya.
Ditekankan olehnya, keberadaan asosiasi ini akan membantu regulator dalam menghadapi sejumlah isu yang berkembang pada saat ini. Dia mencontohkan ada isu besar tentang pendanaan konvensional dan syariah. Dari total tekfin yang terdaftar saat ini, hanya 2 unit merupakan syariah. Diduga minimnya tekfin syariah karena asosiasi yang ada saat ini susah memecahkan masalah lahirnya tekfin syarih.
Asosiasi P2P lending ini akan berdiri khusus kompartemen syariah. Selain itu, isu perizinan juga yang dihadapi oleh calon pemain baru. Hendrikus menyatakan antrian panjang bukan disebabkan regulator lama memberikan izin. Proses lama terjadi karena banyak pelaku melakukan uji coba saat mendaftar ke regulator. Masalah sebenarnya, ketika mengajukan ke regulator ternyata kelengkapan surat-suratnya tidak benar atau kurang memenuhi persyaratan.
“Ketika misalnya ajukan semua lengkap dan di KTP ternyata ada WNA cuma menunjukkan paspor apalagi paspor cuma turis, maka kami kembalikan lagi. Keberadaan asosiasi ini bisa membantu karena disitu ada kepala eksekutif lending, syariah, kemudian kabid digital infrastruktur,” jelasnya.
Hendricus mengungkapkan ruang bagi tekfin untuk berkembang masih terbuka lebar. Begitu pula ruang untuk menghadapi berbagai tantangan juga masih sangat besar. Saat ini, total penyaluran dana industri tekfin mencapai Rp13 triliun. Adapun jika merujuk data Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat 50 juta UMKM. JIka satu UMKM membutuhkan pendanaan sekitar Rp20 juta, maka kebutuhan kredit bisa mencapai Rp1.000 triliun per tahun.
Karena itu, lanjutnya, kehadiran asosiasi akan membantu merumuskan pengembangan industri tekfin tanah air. Dia mengatakan salah satu isu yang nanti akan diprogramkan adalah soal teknologi blokchain terkait rekam jejak kredit nasabah. Sistem teknologi ini mirip dengan SLIK yang dianut oleh OJK. Perbedaanya, jika data SLIK terpusat di OJK tetapi untuk blokchain berada di masing-masing server tetapi antar pelaku terkoneksi sehingga mudah untuk sinergi.
Teknologi ini diklaim akan lebih efisien dan membantu mempermudah melacak rekam jejak kredit seorang calon nasabah. Rencananya, pembahasan apakah sistem ini akan diimplementasikan atau tidak mulai dilakukan pada kuartal akhir tahun depan. Kendati demikian OJK berharap jika di luar negeri sistem uji coba blokchain sudah dilakukan, di Tanah Air diharapkan bisa mengikuti sehingga tidak terlalu tertinggal dengan negara lain.
Sementara itu, ditemui di tempat yang sama Ketua Harian Aftech Kuseryansyah mengakui salah satu tantangan pelaku usaha P2P saat ini terkait hubungan dengan konsumen dan sesama pelaku usaha. Dia mengakui sudah ada kode etik dan komite etik yang dibentuk oleh Aftech untuk mengantisipasi terjadinya perilaku tidak sesuai etika.
Khusus komite etik hingga saat ini belum diresmikan tetapi ke depan diharpakan akan menjadi salah satu upaya menjadikan industri ini menjadi lebih baik. Pihaknya juga mengklaim melakukan pendampingan terhadap anggota supaya tidak reaktif melainkan proaktif terhadap setiap permasalahan yang muncul terhadap konsumen.
“Kalau sekecil apapun input masing-masing platfrom harus handling. Jangan sampai saluran buntu ketika ada aspirasi karena kami tidak hanya layani lending tp handling. Soal perlindungan konsumen kami sangat concern khususnya bagaimana handling consumen dan kami tolak cara-cara tidak etika untuk penagihan,” jelasnya.