Bisnis.com, JAKARTA -- Model bisnis fintech berupa crowdfunding, agregator dan insurtech, dinilai menjadi yang paling berpotensi tumbuh setelah peer to peer (P2P) lending.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia Kuseryansyah mengatakan sekitar 25%--30% platform agregator fintech anggotanya telah mencatatkan diri ke OJK, 25% crowdfunding, sisanya adalah insurtech dan lainnya.
“Ketiga model itulah yang akan mewarnai bisnis fintech ke depannya. Berdasarkan pengalaman, ketiganya bisnis yang sudah valid di berbagai negara,” ujarnya kepada Bisnis.com, dikutip Kamis (26/12/2018).
Baca Juga
Sejauh ini, OJK tengah menggodok POJK tentang crowdfunding, jadi tidak heran crowdfunding yang dinilai paling siap untuk ikut bermain di bisnis fintech.
Crowdfunding yang dimaksud merupakan layanan urun dana penawaran berbasis saham yang dilakukan melalui sistem elektronik. Draf RPOJK tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding) telah dipublikasikan sejak 6 Juli 2018.
Menurutnya, pengujian regulatory sandbox akan dilakukan mulai Januari 2019. OJK memiliki waktu 1 tahun 6 bulan untuk melakukan pengujian.
Untuk itu, Aftech meminta arahan dari OJK terkait proses setelah pencatatan diri. “Yang kami dengar akan ada panel pakar untuk mengkaji apakah suatu usaha sudah layak masuk sandbox,” katanya.
Sebagai langkah persiapan, Aftech akan membentuk working group untuk setiap cluster model bisnis yang mewakili regulatory sandbox.
Saat ini anggota Aftech telah mencapai sekitar 190 startup. Aftech memiliki peran penting dalam proses legalitas suatu usaha fintech, mengingat setiap platform yang hendak mencatatkan diri dan mendaftarkan diri harus terdaftar sebagai anggota Aftech. Bagi fintech yang direkomendasikan, OJK dapat mempertimbangkan untuk membuat payung hukum sehingga bisnis tersebut dapat dijalankan secara legal.