Bisnis.com JAKARTA -- Bareskrim Polri menemukan terdapat 36 fintech ilegal yang memiliki server di luar negeri. Hal ini menjadi hambatan proses penyidikan.
Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul mengatakan terdapat 36 fintech yang di-hosting dari 107 server yang berlokasi di lima negara. Selain itu, ada satu fintech yang dihosting oleh sembilan server di tiga negara.
“Bayangkan jika fintech-fintech ini bermasalah atau melakukan tindakan pelanggaran. Tentu kami akan kesulitan. Dan kami harus melacak ke negara seperti Amerika, China, bahkan sampai ke Irlandia,” tuturnya saat konferensi pers, Selasa (8/1).
Berdasarkan Pasal 25 POJK Nomor 77/POJK.01/2016, tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, setiap penyelenggara wajib menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana yang ditempatkan di Indonesia.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan akses keuangan di Indonesia sangat terbatas sehingga banyak masyarakat yang tidak terlayani oleh sektor formal.
Dengan demikian, pelaku fintech ilegal mencari keuntungan hanya dengan membangun aplikasi tanpa mendaftarkannya di OJK
“Satu-satunya cara adalah mengedukasi masyarakat untuk tetap melakukan pinjaman uang terhadap fintech yang legal,” tuturnya.
Satgas Waspada Investasi telah memberikan rekomendasi pemblokiran aplikasi dan website fintech ilegal sebanyak 404.
Hingga awal Januari 2018, terdapat 88 penyelenggara peer-to-peer (P2P) lending yang telah terdaftar di OJK. Adapun nilai penyaluran pinjaman sepanjang 2018 mencapai Rp20 triliun.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, sejak Agustus 2018, terdapat 527 website dan aplikasi fintech ilegal yang telah diblokir. Dalam 3 bulan terakhir, Kominfo juga telah memblokir 350 website dan aplikasi fintech ilegal.
Pemblokiran tersebut sesuai dengan rekomendasi dari Satgas Waspada Investasi dan hasil cyber patrol yang dilakukan Kominfo,