Bisnis.com, JAKARTA - Hal yang sedikit menggelitik dari pelaksanaan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kita baru berada dalam level penanganan masalah finansial yang melanda BPJS Kesehatan. Namun, masih jauh dalam mendiskusikan atau mempermasalahan status kesehatan masyarakat, akan meningkat atau tidak dalam pelaksanaannya.
Defisit finansial yang menimpa BPJS Kesehatan telah menjadi isu hangat belakangan ini dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan membengkaknya tagihan pelayanan kesehatan badan tersebut. Data terakhir menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun dan memungkinkan membengkak di tahun ini dan selanjutnya.
Pembicaraan berlanjut soal intervensi mengenai pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan hingga pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya. Namun, pertanyaan mendasar dari implementasi UU SJSN tidak pernah mendapatkan tempat utama, yaitu apakah tingkat kesehatan masyarakat meningkat dengan program ini?
Dalam UU No. 24 Tahun 2011 pasal 3 menegaskan bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan demi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Kebutuhan akan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi fokus utama dibentuknya BPJS.
Namun, permasalahan mendasar (defisit anggaran) dari pelaksanaan BPJS seakan menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan program ini. Kendati skema mitigasi apabila terjadi defisit keuangan mengenai BPJS, khususnya BPJS Kesehatan telah tertuang dalam undang-undang, implementasi di lapangan belum sesuai harapan. Pengurangan manfaat kesehatan, urun biaya dan selisih biaya mewarnai peliknya tantangan bagi badan tersebut saat ini.
Penerjemahan atas UU SJSN yang tidak menyeluruh membuat kita kian terjebak dalam permasalahan defisit, pengurangan manfaat dan urun serta selisih biaya. Hal utama mengenai pemenuhan kebutuhan dasar hidup malah kian luput dari perhatian, dalam hal ini kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 4 dan 5, menunjukkan bahwa asuransi kesehatan daerah, Jamsostek, Askes dan saat ini BPJS belum mampu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dibagi dalam group treatment-control mengambil sampel sebanyak 12.740 observasi data panel.
Group treatment tercatat sebanyak 8.754 observasi dimana individu tidak memiliki asuransi pada IFLS4 dan memiliki asuransi pada IFLS5. Sebagai control sebanyak 3.716 observasi dengan ketentuan memiliki asuransi pada kedua periode penelitian.
Hasilnya cukup mengejutkan bahwa keberadaan asuransi yang dikelola pemerintah dan BUMN atas dasar penugasan pemerintah tidak memiliki dampak terhadap peningkatan status kesehatan (statistically insignificant) peserta asuransi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode difference-in-differences (DiD) dengan data panel yang seimbang (balanced panel).
Namun, keberadaan program asuransi ini berhasil menurunkan tingkat pengeluaran kesehatan masyarakat meskipun ada pengeluaran tetap yaitu premi. Hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan program ini seharusnya mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sayangnya, hal yang penting ini malah luput dari pembahasan pemerintah dan BPJS. Justru kita disibukkan pada permasalahan finansial dan malah penurunan manfaat.
Jika berkaca pada hasil penelitian tersebut, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bersama-sama mengambil langkah strategis, yaitu bagaimana asuransi kesehatan nasional ini berkontribusi dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Bukankah seharusnya kebijakan yang diterapkan harus mengacu pada sasaran tersebut, bukan hanya bagaimana menutup defisit keuangan dengan menurunkan manfaat dan urun serta selisih biaya. Ini pun menjadi evaluasi atas kebijakan penurunan manfaat kesehatan bagi masyarakat, karena dengan kondisi saat ini saja belum mampu mendorong tingkat kesehatan masyarakat. Apalagi jika manfaatnya dikurangi.
Kian jelas bahwa ketentuan Indonesia Case Base Groups (Ina-CBG’s) tidak disiapkan dengan baik. Pasalnya, belum pernah dipublikasikan, baik oleh pemerintah maupun BPJS Kesehatan mengenai tindakan medis kepada pasien, apakah sudah efektif atau belum. Apalagi untuk penanganan pasien yang memiliki penyakit cukup berat.
Padahal hal ini seharusnya dilakukan untuk menerapkan prosedur yang efektif dan tentunya menghindari tindakan medis berlebihan. Efektif artinya dengan tindakan medis tertentu dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cost-benefit-analysis (CBA), cost utility analysis (CUA), dan cost effectiveness analysis (CEA).
Namun, hal tersebut tampak belum menjadi basis dalam penerapan Ina-CBG’s. Padahal dengan analisis tersebut akan membantu suatu tindakan medis memiliki efektivitas terhadap pasien atau tidak berdasarkan quality adjusted life-years (QALY). QALY merupakan ukuran mengenai kualitas hidup seseorang pasca mendapatkan penanganan medis. Kendati ukuran ini terbilang subyektif tetapi dapat menjadi ukuran untuk menentukan pelayanan optimal bagi pasien.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan seharusnya sudah tidak berkutat pada masalah defisit anggaran. Pasalnya, rekomendasi mengenai dana abadi kesehatan benar-benar bisa dilakukan dan diterapkan. Sudah waktunya membahas paket kesehatan dan dampaknya bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Perlu diingat bahwa rancangan pembangunan Indonesia ke depan akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Syarat utamanya ialah pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Untuk itu transformasi harus terus dilakukan agar negara ini bisa semakin maju.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (1/8/2019)