Bisnis.com, JAKARTA — Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. meningkat secara tahunan pada kuartal III/2019.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, hingga akhir September 2019 rasio NPL bank pelat merah itu tumbuh 54 basis poin (bps) menjadi 3,08 persen. Kenaikan rasio NPL ini diklaim sebagai dampak tekanan yang dihadapi sejumlah sektor industri.
“Penyebabnya karena nasabah-nasabah tertinggi itu di segmen korporasi, dan beberapa sektor industri yang kami nilai ada masalah, ditetapkan sebagai NPL seperti [debitur pada sektor] industri semen dan tekstil,” ujar Direktur Utama BRI Sunarso dalam paparan kinerja perseroan, Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Kenaikan rasio NPL juga tercatat di laporan kinerja non-konsolidasi. Rasio kredit bermasalah bank pelat merah ini naik 48 bps menjadi 2,94% per akhir September.
Jika dibedah lebih dalam, kenaikan NPL bank pelat merah itu disebabkan melonjaknya rasio kredit bermasalah dari pembiayaan di sektor korporasi. NPL sektor korporasi meningkat 466 bps dari 5,80% tahun lalu menjadi 10,46% di kuartal III/2019.
Total kredit korporasi dan yang sudah disalurkan BRI hingga kuartal III/2019 mencapai Rp202,8 triliun atau tumbuh 8,4% yoy. Angka ini berasal dari pembiayaan senilai Rp108,2 triliun ke BUMN, dan Rp94,6 triliun untuk korporasi swasta.
Jika dihitung secara sederhana, maka total NPL BRI dari pembiayaan sektor korporasi hingga akhir September 2019 mencapai Rp9,89 triliun.
“NPL naik, kami tingkatkan cadangan karena ada beberapa manufaktur yang struggling, di industrinya sedang menghadapi tantangan, makanya kami respons secara prudent lewat cadangan,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo pernah menyarankan agar bank mulai beralih fokus menyalurkan pembiayaan dari sektor korporasi ke ritel. Pendapat ini ia kemukakan karena adanya pengaruh negatif terhadap kredit korporasi akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Pria yang akrab disapa Tiko ini juga memandang permintaan kredit dari segmen ritel terus meningkat. Hal ini bisa dimanfaatkan pelaku industri perbankan untuk menjaga pertumbuhan penyaluran kredit.