Bisnis.com, JAKARTA - Industri teknologi finansial (tekfin/fintech) syariah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, rotal penyaluran pinjamannya pada 2019 telah menembus US$1 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) AFSI Ronald Yusuf Wijaya mengatakan fintech syariah tidak mengenakan bunga pada peminjam sehingga transaksi antara investor, perusahaan fintech syariah dan peminjam bersifat kerja sama. Nantinya, terdapat sistem bagi hasil bagi setiap pihak pada kerja sama dengan tenor yang disepakati.
Adapun, Ronald menjelaskan dalam fintech syariah, terdapat enam jenis akad yang diperbolehkan.
Pertama, al-bai' (jual-beli) yaitu akad antara penjual dan pembeli yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan obyek yang dipertukarkan (barang dan harga).
Kedua, ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran ujrah atau upah.
Ketiga, mudharabah yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (shahibu al-maaf) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola dan keuntungan usaha, dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad. Sementara itu kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Baca Juga
Keempat, musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana modal usaha. Dalam konsep akad ini terdapat ketentuan keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional.
Kelima, wakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (upah).
Keenam, qardh yaitu akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara yang disepakati.
“Kalau bicara akad yang biasa digunakan masyarakat adalah murabahah dan musyarakah. Kalau mudarabah ada tapi masih belum terlalu banyak, karena perlu cukup kedalaman untuk menjaga kesyariahannya,” terangnya.
Ronald melanjutkan, terkait payung hukum fintech syariah, salah satunya berlandaskan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
“Fintech syariah juga mengacu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 117/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah,” jelasnya.
Ronald mengatakan bahwa saat ini OJK tengah berinisiatif melakukan revisi terhadap peraturan POJK No 77/2016 agar secara khusus menaungi fintech syariah.