Bisnis.com, JAKARTA - Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean menilai penurunan profil resiko high risk tidak cukup signifikan terjadi pada 2019. Begitu pula dengan kenaikan profil risiko low risk tahun lalu tidak menjadi data yang cukup akurat untuk menyimpulkan kondisi kreditur yang sehat.
"Keputusan bisnis bukan seperti ilmu Fisika yang butuh akurasi dua digit dibelakang koma," katanya kepada Bisnis, Rabu (4/3/2020).
Apalagi, data yang disajikan adalah data masa lalu, sedangkan penyaluran kredit harus melihat prospek masa depan dengan berbagai indikator cash flow yang memberi indikasi prospek pengembalian pinjaman atau kredit. Artinya, terkait kemungkinan perbankan memacu pencairan undisbursed loan tidak menjadi ukuran.
Menurutnya, perbankan sangat ingin menyalurkan kredit tetapi harus secara prudent dan terukur. Bila permintaan memang ada dan prospeknya baik maka perbankan akan dengan sangat senang menyalurkan kredit.
"Bila permintaan memang tidak ada, atau bila cash flow calon kreditur kurang sehat maka perbankan enggan. Karena ini uang milik deposan yang harus dijaga baik-baik amanahnya," katanya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan penurunan risiko debitur ini seiring dengan rata-rata penurunan tingkat suku bunga kredit, yakni untuk investasi, modal kerja, maupun konsumsi sejak 2015. Tercatat, sejak 2018 hingga 2019 rata-rata suku bunga kredit modal kerja turun 28 basis poin hingga 10,09%.
Sementara itu, suku bunga investasi turun 48 basis poin ke level 9,90%. Adapun suku bunga kredit konsumsi turun hanya 11 basis poin menjadi 11,62%.
"Dengan indikator suku bunga tersebut dapat terlihat bahwa memang secara umum risiko debitur cenderung turun, terutama pada sektor-sektor produktif, di tengah adanya perlambatan ekonomi global," katanya kepada Bisnis, Rabu (4/3/2020).
Josua mengakui penurunan risiko ini masih belum signifikan akibat proporsi yang masih di atas 40% dari debitur berisiko tinggi. Hal ini mendorong keharusan dari sektor perbankan untuk tetap berhati-hati dalam menyalurkan kredit kepada existing nasabah, meskipun likuiditas cenderung tinggi seiring berbagai kebijakan akomodatif dari Bank Indonesia (BI).
Di sisi lain, meskipun risiko dari pada debitur cenderung menurun, tetapi perbankan masih harus menghadapi tantangan berupa perlambatan permintaan dari sisi debitur. Perlambatan kredit terlihat dari data 2019 yang pertumbuhannya sebesar 11,75% menjadi 6,08% pada 2019. Kondisi tersebut terjadi di tengah penurunan suku bunga kredit.
"Akibat dari perlambatan kredit tersebut, dengan kondisi ancaman perlambatan global di tahun 2020, perbankan justru harus cenderung lebih aktif dalam mencari permintaan baru sebagai diversifikasi dalam rangka peningkatan pertumbuhan kredit," katanya.