Bisnis.com, JAKARTA - Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Ini adalah pepatah yang digunakan Economist Global Treasury OCBC Bank Wellian Wiranto dalam menggambarkan RUU Bank Indonesia yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Harapannya, pepatah ini bisa mengingatkan anggota parlemen akan artinya, upaya berhati-hati dan tidak membuat kesalahan kecil sekalipun. Pasalnya, kesalahan kecil bisa membawa konsekuensi yang sangat besar, terutama saat mempertimbangkan perubahan di struktur dan cara kerja Bank Indonesia.
Menurut Wellian, draf RUU BI lebih dari sekedar satu tetes tinta yang menyimpang. Di sisi lain, ada lebih dari satu ember susu yang dipertaruhkan.
Belakangan, rencana perubahan UU BI No. 23/1999 membuat gaduh pasar. Tidak hanya mengancam teramputasinya independensi BI, tetapi juga RUU BI dinilai akan mangguncang pasar keuangan Indonesia.
Draf RUU BI pasal 9A dan 9B RUU BI menyebutkan akan ada Dewan Moneter yang dipimpin Menteri Keuangan yang akan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan pemerintah di bidang perekonomian.
Berdasarkan pasal ini, Ekonom Senior Indef Fadhil Hasan berpendapat BI tidak lagi secara independen bisa menilai apakah kondisi ekonomi dapat dinyatakan terjadi instabilitas keuangan.
Baca Juga
Oleh karenanya, dia menilai RUU BI ini tidaklah tepat dilakukan. Pasalnya, melalui UU Nomor 2/2020, BI sudah dibuat pincang karena tidak lagi independen dengan skema burden sharing yang disepakati, dengan pembelian SBN di pasar perdana dengan bunga 0 persen.
"Padahal independensi bank sentral adalah amanah UUD pasal 23D, konstitusi negara," katanya.
Fadhil mengingatkan bila RUU dan Perppu Sistem Keuangan dilanjutkan, maka akan membuat stabilitas sistem keuangan dalam bahaya. RUU dan Perppu tersebut menurutnya tidak dilandasi oleh argumen ilmiah yang kuat dan hanya didorong oleh pertimbangan jangka pendek yang bersifat personal dan politis.
"Buktinya sekarang ini nilai tukar rupiah justru melemah ditengah penguatan nilai mata uang negara lain. Pasar telah merespon negatif rencana ini,\" jelasnya.
Balik ke Era 1950
Analis Nomura Singapore Ltd. Euben Paracuelles dan Rangga Cipta menyebut Dewan Moneter menilai RUU BI, terkhusus pembentukan Dewan Moneter merupakan suatu kemunduran. Pasalnya model tersebut pernah dibentuk pada tahun 1950-an.
Adapun, Dewan Moneter pertama kali dibentuk pada 1953, Namun dihapus setelah terjadi krisis keuangan Asia tahun 1999.
Penghapusan ini tidak lain untuk mendorong independensi bank sentral kala itu. Rencana pembentukan Dewan Moneter ini pun dinilai bertolak belakang dari tujuan tersebut.
"Proposal yang baru yang masih dalam tahap awal, tampak seperti kebalikan dari tujuan ini, katanya.
Usulan Dewan Moneter diusulkan terdiri dari lima orang anggota, yang dipimpin oleh Menteri Keuangan dan menteri yang membidangi perekonomian.
Hati-hati Salah Langkah
Fadhil mengatakan RUU dan Perppu Sistem Keuangan sebaiknya tidak buru-buru diterbitkan.
Pemerintah sebaiknya fokus pada penyelamatan ekonomi melalui stimulus ekonomi dan memastikan penyerapan anggaran lebih baik.
"Nyatanya, otoritas moneter telah menyetujui pembelian SUN di pasar perdana dan menanggung beban bersama terhadap SUN yang diterbitkan pemerintah,\" tuturnya.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan jika pemerintah benar-benar membentuk Dewan Moneter, maka akan terjadi ketidakpercayaan pasar.
Meski Presiden Joko Widodo sekalipun menjamin independensi BI tidak akan hilang, menurut Piter secara nyata BI akan diintervensi oleh keputusan politik melalui Dewan Moneter.
Jika pemerintah bisa mengintervensi, artinya kepentingan politik dapat memasuki bank sentral dan Menteri Keuangan yang menjadi Ketua Dewan Moneter selanjutnya pun bisa berasal dari partai politik.
"Jika Dewan Moneter jadi dibentuk, independensi BI akan tinggal kenangan," kata Piter.
Mandat Ditambah
Pandangan yang sedikit berbeda diberikan oleh Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro. Menurutnya, menambahkan mandat bank sentral terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja adalah langkah yang tepat dan diperlukan saat ini.
Saat ini, BI mengadopsi inflation targeting framework (ITF), namun belakangan ini tingkat harga tidak lagi mewakili stabilitas secara keseluruhan, seiring dengan melemahnya keterkaitan antara inflasi dan pengangguran seperti yang diperkirakan dalam kurva Phillips.
"Yang juga tampaknya tidak relevan adalah keterkaitan antara tingkat harga dan nilai tukar sebagaimana diatur dalam teori paritas daya beli (PPP). Akibatnya, tujuan stabilisasi rupiah BI sekarang lebih bergantung pada perkembangan defisit transaksi berjalan daripada inflasi," ujar Satria, Rabu (2/9/2020).
Dengan adanya revisi undang-undang BI, dia melihat kemungkinan adanya era suku bunga rendah yang merupakan pertanda baik bagi Indonesia, terlebih ketika otoritas fiskal telah meningkatkan belanja infrastruktur dalam APBN 2021 demi menghidupkan kembali pertumbuhan investasi.
"Belakangan ini, sikap prostabilitas BI telah bertentangan dengan sikap kebijakan propertumbuhan Kementerian Keuangan. Pandangan kami di sini adalah bahwa suku bunga seharusnya lebih rendah dari yang sekarang," tegas Satria.
Dia yakin BI sebenarnya memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut karena faktor ekonomi yang melambat ditengah peningkatan indikator stabilitas seperti surplus perdagangan yang melebar, defisit neraca berjalan yang menyempit dan penurunan inflasi.
Di sisi lain, Satria melihat adanya risiko pengekangan independensi BI dari draf RUU yang disampaikan ke DPR. Pembentukan dewan moneter akan mendilusi independensi bank sentral dalam menetapkan suku bunga dan mengejar tujuan kebijakan moneternya.
Hal ini juga menandai kemungkinan kembalinya otoritas bank sentral kepada Kementerian Keuangan, yang pernah berada di bawah Direktorat Jenderal Kebijakan Moneter (Dirjen Moneter) sebelum Krisis Keuangan Asia.
Kekhawatiran atas dominasi fiskal dalam kebijakan moneter sebenarnya telah muncul, menyusul peran BI yang semakin besar dalam mendanai defisit anggaran.
Kendati hal ini bersifat tidak permanen atau kebijakan satu kali. Satria menilai usulan perubahan pada peran bank sentral sebaiknya dapat diatur secara ad hoc dalam Peraturan Presiden atau Perppu - bukan undang-undang.
"Hanya untuk memperkuat koordinasi kebijakan fiskal-moneter di tengah krisis Covid-19, dengan mengembalikan peran dan independensi BI setelah 2022," kata Satria.
Seperti diketahui, defisit anggaran diperkirakan pemerintah akan mulai menurun pada 2022 hingga kembali normal di bawah 3 persen pada 2023.
Dewan Moneter
Dewan moneter sebenarnya bukan barang baru. Pada Orde Lama, Bank Indonesia saat itu dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasihat.
Dikutip dari situs Bank Indonesia, struktur kepemimpinan atas bank sentral tersebut diatur Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953.
Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Artinya, bank sentral saat itu bekerja di bawah pemerintah.
Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral.
Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter.
Kepemimpinan di bawah bayang-bayang pemerintah tersebut berjalan puluhan tahun lamanya. Setelah orde baru berlalu, Bank Indonesia mendapatkan independensinya melalui UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004.
Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lain.
Di praktik kebanksentralan negara lain, istilah seperti dewan moneter atau dewan direksi masih dijalankan. Bank sentral Singapura, Monetary Authority of Singapore (MAS), memiliki dewan direksi yang pimpinannya direkomendasikan oleh presiden.
Saat ini, Menteri Senior dan Menteri Koordinator Bidang Kebijakan Sosial Tharman Shanmugaratnam menjabat sebagai pemimpin dan wakilnya diisi oleh Penasihat Khusus, Kementerian Perdagangan dan Industri Lim Hng Kiang. Jangan heran, anggotanya juga terdiri dari Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Bidang Kebijakan Ekonomi Heng Swee Keat hingga Menteri Transportasi Ong Ye Kung.
Dewan Direksi bertanggung jawab atas kebijakan dan administrasi umum urusan dan bisnis MAS dan menginformasikan pemerintah tentang kebijakan pengaturan, pengawasan dan moneter MAS.
Dewan secara langsung bertanggung jawab kepada Parlemen Singapura melalui menteri yang bertanggung jawab atas MAS. Bangko Sentral ng Pilipinas juga memiliki dewan moneter. Hanya saja dewan tersebut dipimpin oleh Gubernur Bangko Sentral ng Pilipinas yang menjabat, Benjamin E. Diokno. Tetapi, anggota dewan tersebut merupakan pejabat di pemerintahan a.l. Menteri Keuangan Filipina Carlos García Domínguez III, ekonom Filipina Felipe M. Medalla hingga anggota kamar dagang dan industri Filipina Antonio S. Abacan, Jr.
Dalam praktiknya, dewan moneter di bank sentral Filipina dapat menerbitkan aturan dan regulasi yang dianggap perlu untuk pelaksanaan tanggung jawab secara efektif dan pelaksanaan wewenang yang diberikan kepada dewan moneter dan Bangko Sentral.
Dewan moneter juga dapat mengarahkan manajemen, operasi, dan administrasi Bangko Sentral, mengatur ulang personelnya, dan mengeluarkan peraturan dan regulasi yang dianggap perlu atau nyaman untuk tujuan ini. Unit hukum Bangko Sentral berada di bawah pengawasan dan kendali eksklusif dewan moneter. Adapun, dewan ini bertemu seminggu sekali dan dapat mengikuti rapat dewan gubernur.
Mengacu pada paparan di atas, pemerintah maupun regulator sebaiknya benar-benar memahami dan memikirkan matang-matang segala risiko yang ada. Selain itu, studi kebanksentralan di kancah global harus menjadi acuan, tentu dengan tetap berpegang pada kondisi dan karakter serta perkembangan ekonomi Indonesia.