Bisnis.com, JAKARTA -- Salah satu industri keuangan yang terdampak pandemi Covid-19 relatif cukup berat adalah perusahaan pembiayaan atau multifinance. Data Statistik Lembaga Pembiayaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan kondisi itu, yakni penyaluran pembiayaan menurun, pembiayaan bermasalah meningkat dan laba merosot dalam.
Pada kuartal III/2020, laju pembiayaan yang dikucurkan perusahaan multifinance telah tumbuh minus 14,37% secara tahunan (yoy), dari Rp451,12 triliun menjadi Rp386,30 triliun. Pencapaian kinerja ini menurun dari kuartal III tahun lalu yang masih naik 3,53% (yoy).
Anjloknya penyaluran multifinance berasal dari jenis pembiayaan multiguna dan investasi yang masing-masing tumbuh minus 15,05% (yoy) menjadi Rp231,25 triliun dan minus 13,27% (yoy) menjadi Rp118,95 triliun. Porsi keduanya dari total pembiayaan memang tinggi masing-masing 59,86% dan 30,79%. Pada pembiayaan multiguna, penyaluran pembiayaan yang turunnya paling tajam terkait dengan pembiayaan kendaraan bermotor roda dua baru, yang turun 15,96% (yoy) dari Rp83,09 triliun menjadi Rp69,83 triliun.
Adapun, pembiayaan kendaraan roda empat baru turun 13,79% (yoy) dari Rp136,09 triliun menjadi Rp117,32 triliun. Di sisi lain, rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) meroket dari 2,66% pada September 2019 menjadi 4,93% pada September 2020. Peningkatan NPF ini, selain karena nominal pembiayaan bermasalah yang naik tajam 62,68% (yoy) atau Rp7,82 triliun, juga tidak lepas dari menurunnya penyaluran pembiayaan.
Sama halnya dengan perbankan, dalam menghadapi pandemi, OJK juga mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan melalui POJK No.14/POJK.05/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. Salah satu poin penting dari kebijakan tersebut yaitu kualitas pembiayaan restrukturisasi dianggap lancar atas pembiayaan yang terdampak pandemi Covid-19.
Berdasarkan infografis OJK tanggal 4 November 2020, jumlah pembiayaan yang direstrukturisasi per 27 Oktober 2020 telah mencapai Rp177,66 triliun dari 4,79 juta kontrak pembiayaan. Bila dibandingkan dengan total pembiayaan pada kuartal III/2020, pembiayaan yang direstrukturisasi telah cukup tinggi, sekitar 45%.
Menurunnya pembiayaan, meningkatnya NPF dan pembiayaan restrukturisasi, serta meningkatnya pembentukan cadangan kerugian akibat naiknya NPF akhirnya berimbas pada kinerja rentabilitas. Pada kuartal III/2020, laba bersih multifinance merosot tajam dengan tumbuh minus 63,15% (yoy) atau anjlok Rp8,82 triliun dari Rp13,96 triliun menjadi Rp5,15 triliun. Penurunan laba multifinance ini dihantam dari dua sisi sekaligus yaitu pendapatan yang turun 7,90% (yoy) dan sebaliknya beban naik 6,27% (yoy).
Menurunnya kinerja multifinance ini perlu dicermati. Alasannya, ada potensi risiko kegagalan individu multifinance (idiosyncratic risk) dapat memicu timbulnya risiko sistemis, terutama bila kegagalan multifinance itu menyebar ke perbankan.
Apalagi, dari laporan keuangan publikasi di Bursa Efek Indonesia menunjukkan telah ada beberapa multifinance dengan aset cukup besar mengalami kerugian, seperti Oto Multiartha Rp387,16 miliar (Juni 2020), Mandiri Tunas Finance Rp54,01 miliar (September 2020), dan Indomobil Multijasa Rp31,26 miliar (konsolidasi Juni 2020). Bagaimana risiko idiosinkratik multifinance dapat merambat ke perbankan?
Risiko sistemis sejatinya bisa muncul dan menyebar bila ada interkoneksi antarelemen dalam sistem keuangan. Dalam konteks ini, ada interkoneksi atau saling keterkaitan antara multifinance dengan perbankan. Interkoneksi itu dalam bentuk sumber pendanaan multifinance yang ternyata hampir separuhnya berasal dari kredit perbankan.
Dari data OJK, hingga kuartal III/2020, pendanaan multifinance yang bersumber dari kucuran kredit perbankan mencapai Rp138,98 triliun atau 44,68% dari total pendanaan. Tercatat lebih dari 80 bank yang menyalurkan kredit kepada multifinance.
Sementara dari data individual menunjukkan ada lebih dari 15 multifinance yang masing-masing mendapatkan kucuran kredit dari 10 hingga 20 bank. Bahkan, dan satu multifinance mendapatkan kucuran kredit lebih dari 20 bank. Kredit yang diberikan sekelompok bank tersebut bukan dalam skema kredit sindikasi, melainkan kredit bilateral hanya dengan banyak bank. Dari sini terlihat betapa risiko idiosinkratik dari satu multifinance tersebut dapat memaparkan risiko pada banyak bank.
Maka itu, upaya menjaga kondisi multifinance dan pemantauannya, terutama saat pandemi Covid-19 menjadi penting dalam rangka menjaga kestabilan sistem keuangan. Upaya restrukturisasi pembiayaan tidak hanya antara debitur dengan multifinance tetapi juga antara multifinance dan perbankan. Keputusan perpanjangan kebijakan restrukturisasi oleh OJK hingga Maret 2022 sudah sangat tepat dalam menjaga kondisi multifinance dan juga perbankan.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (23/11/2020)