Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sederet Tantangan Industri Asuransi pada Tahun Kerbau Logam 2021

Risiko-risiko pada 2021 di industri asuransi dapat berupa kendala tahun ini yang terus berkembang, atau justru masalah baru yang muncul dalam upaya pemulihan ekonomi.
Karyawan beraktifitas di dekat deretan logo-logo perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Selasa (22/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan beraktifitas di dekat deretan logo-logo perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Selasa (22/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa terdapat banyak risiko yang dapat menghantui industri asuransi pada tahun depan. Risiko-risiko itu dapat berupa kendala tahun ini yang terus berkembang, atau justru masalah baru yang muncul dalam upaya pemulihan ekonomi.

Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah menyoroti risiko penjualan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit-linked pada tahun depan.

Risiko itu bukan hanya ada di asuransi jiwa, melainkan juga asuransi umum karena adanya Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) yang secara eksplisit mengizinkan perusahaan asuransi kerugian menjual unit-linked.

"Karena masa pandemi Covid-19 ini kami buka ruang jualannya face to face melalui sarana digital untuk produk yang sebenarnya sophisticated [unit-linked], ini bukan tidak mungkin kalau tidak proper saat penjualannya, bisa ada ledakan pengaduan dari nasabah," ujar Nasrullah dalam gelaran webinar Insurance Outlook 2021, Kamis (17/12/2020).

Menurutnya, sepanjang 2020 OJK mencatatkan peningkatan statistik yang cukup tajam terkait pengaduan PAYDI dari nasabah. Sebagian besar dari mereka mengeluhkan penurunan nilai asuransi, yang dapat mengindikasikan kurangnya pemahaman nasabah terkait risiko unit-linked atau mungkin terjadi misselling.

Selain itu, nasabah pun kerap mengeluhkan adanya penempatan investasi yang tidak sesuai harapan. Regulasi saat ini memang mengatur nasabah untuk memilih profil risiko, tetapi underlying investasinya tetap di bawah kendali perusahaan asuransi.

"Ada celah di regulasi, missing link. Kadang terjadi moral hazard, investasi ditempatkan di grupnya [perusahaan asuransi], afiliasinya, ketika [kinerja] grupnya atau afiliasinya terdampak maka memengaruhi [kinerja] PAYDI," ujar Nasrullah.

Dia pun berharap asosiasi-asosiasi asuransi dapat menjalin komunikasi dengan anggota-anggotanya agar penjualan unit-linked menjadi lebih proper. Otoritas pun akan melakukan evaluasi untuk melihat apakah relaksasi penjualan unit-linked melalui sarana digital dapat diterapkan secara permanen.

Menurut Wakil Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Maryoso Sumaryono, risiko yang diambil perusahaan dari nasabah adalah risiko murni, seperti kematian atau mortalitas dan sakit atau morbidity. Namun, klaim terkait risiko murni itu masih tergolong kecil.

AAJI mencatat bahwa pada periode Januari–September 2020, pembayaran klaim meninggal dunia mencapai Rp8,8 triliun atau mencakup 8,02 persen dari total klaim industri senilai Rp109,61 triliun.

Pembayaran klaim asuransi kesehatan senilai Rp7,66 triliun pun hanya mencakup 6,98 persen dari klaim industri, sehingga total keduanya menjadi sekitar 25 persen dari total klaim.

Lain halnya, klaim nilai tebus (surrender) atau nasabah yang mengakhiri polis di tengah jalan pada periode Januari–September 2020 tercatat senilai Rp67,45 triliun. Jumlah itu mencakup 61,5 persen dari total klaim, lebih dari separuh klaim industri dan jauh di atas pembayaran klaim atas risiko murni.

Maryoso menilai bahwa peningkatan pembayaran klaim yang bukan merupakan risiko murni merupakan sesuatu yang dikhawatirkan oleh industri pada tahun depan. Oleh karena itu, sosialisasi atas pentingnya proteksi perlu dilakukan dengan masif.

"Menurut saya coba kembali ke risiko murni, sehingga pemanfaatan asuransi untuk memberikan proteksi kepada tertanggung betul-betul terjadi kepada risiko asuransi," ujar Maryoso pada Kamis (17/12/2020).

Sementara itu, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Hastanto Sri Margi Widodo menilai bahwa risiko terbesar yang dikhawatirkan industri asuransi kerugian adalah deviasi pemburukan terhadap hasil perhitungan saat membangun produk.

"Ini terkait dengan kemampuan memenuhi liabilitas jangka panjang. Kalau itu memang terjadi maka diperlukan penambahan modal untuk menutup liabilitas," ujar Widodo.

Menurutnya, AAUI selalu menekankan para anggotanya agar mengelola liabilitas dengan baik. Dia menilai bahwa marwah industri asuransi adalah mengelola risiko atau liabilitas dengan aset yang ada, sehingga manajemen aset dan liabilitas itu menjadi kunci.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper