Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi co-payment asuransi kesehatan yang rencananya mulai berlaku 1 Januari 2026 ditunda. Skema ini mulanya diharapkan menjadi solusi atas kondisi lonjakan klaim asuransi kesehatan yang terjadi di tengah inflasi medis.
Menanggapi pembatalan tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan AAJI pada prinsipnya menghormati dan mendukung setiap langkah regulator dalam menyempurnakan ketentuan penyelenggaraan asuransi kesehatan.
"Terkait rencana penundaan implementasi SEOJK 7/2025, kami masih menunggu ketentuan resmi dari OJK dan akan mengikuti setiap keputusan yang diambil, dengan harapan regulasi final nantinya tetap mengedepankan perlindungan konsumen dan keberlanjutan industri," kata Togar kepada Bisnis, Senin (7/7/2025).
Apabila merujuk kondisi di industri, OJK mencatat sampai dengan April 2025 rasio klaim asuransi kesehatan di perusahaan asuransi jiwa mencapai 51,29% sedangkan di asuransi umum 49,97%. Rasio tersebut bisa lebih tinggi karena dihitung tanpa memperhitungkan cadangan klaim dan beban operasional (OPEX).
Kondisi lonjakan klaim asuransi kesehatan imbas inflasi medis juga diikuti dengan repricing atau penyesuaian harga premi asuransi kesehatan. Untuk asuransi jiwa, AAJI menyebut kenaikan premi berkisar antara 30% sampai 100% dalam dua tahun terakhir. Di sisi lain, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat sepanjang 2024 terjadi kenaikan harga premi asuransi kesehatan sebesar 20% hingga 30%.
Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan bahwa AAUI memahami dan mendukung langkah OJK untuk menunda implementasi SEOJK 7/2025 hingga ditetapkan pengaturan dalam bentuk POJK.
Baca Juga
Penundaan ini menurutnya adalah langkah yang tepat agar ketentuan co-payment memiliki landasan hukum yang lebih kuat serta dapat disusun secara lebih komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk industri dan DPR.
"Meskipun demikian, tantangan dalam pengendalian rasio klaim tetap harus menjadi fokus utama. Rasio klaim asuransi kesehatan yang mendekati 50% menunjukkan tekanan yang signifikan terhadap keberlanjutan portofolio," ujar Budi.
Untuk menjaga agar rasio klaim tetap sehat tanpa harus menaikkan premi secara agresif meskipun skema co-payment batal, Budi mengatakan perusahaan asuransi dapat menerapkan strategi alternatif seperti peningkatan kualitas underwriting dan manajemen klaim.
"Perusahaan juga dapat melakukan koordinasi intensif dengan penyedia layanan kesehatan untuk mengendalikan biaya medis, meningkatkan digitalisasi layanan dan edukasi nasabah untuk menekan moral hazard maupun penerapan wellness program dan manajemen risiko kesehatan bagi peserta," pungkasnya.