Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menjabarkan implementasi co-payment asuransi kesehatan di beberapa negara Asia Tenggara atau Asean, seperti Malaysia hingga Thailand.
Dian Budiani, Kepala Departemen Klaim dan Manfaat AAJI, mengatakan implementasi co-payment di Malaysia dimulai tahun ini. Bedanya, implementasi co-payment di Malaysia dibahas dan diputuskan oleh asosiasi asuransi jiwa di sana tanpa melalui regulator.
"Di Malaysia kemarin aku ngobrol sama AAJI Malaysia mereka sudah ada di titik preminya bisa diskon karena memang sudah aman [klaim kesehatan terkendali], efek-efek inflasi medis sudah hilang," kata Dian dalam forum media gathering AAJI, dikutip Minggu (29/6/2025).
Adapun co-payment di Indonesia diatur di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Ketentuan-ketentuan di dalam SEOJK 7/2025 ini, termasuk co-payment, mulai berlaku 1 Januari 2026.
Dian mengatakan skema co-payment di Indonesia tidak akan langsung berdampak pada penurunan premi asuransi kesehatan dalam waktu singkat. Namun dalam perjalannya nanti, dia berharap apa yang terjadi di Malaysia juga bisa terjadi di Indonesia.
Dian melanjutkan, penerapan co-payment juga diterapkan di Thailand. Di negara Gajah Putih ini, skema co-payment diimplementasikan mulai Maret 2025 dan lebih kompleks. Di Indonesia, presentase besaran klaim yang ditanggung nasabah hanya 10% dari total klaim dengan batasan tertentu.
Baca Juga
Sementara di Thailand besaran presentase yang dibebankan nasabah asuransi kesehatan dalam skema co-payment ditetapkan berdasarkan kasus-kasus klaim. Bahkan, presentasenya lebih besar dari 10% yang ditetapkan di Indonesia.
"Kalau sakitnya A,B,C,D,E, F bayarnya 20%, kalau X,Y,Z 40%. Kenapa tidak 10% saja, kata dia [Thailand] tidak cukup karena di sana klaimnya sudah tinggi sekali sehingga presentasenya harus lebih besar," jelasnya.
Selain menyesuaikan dengan jenis klaim, skema co-payment di Thailand juga memberikan opsi perubahan presentase besaran beban klaim yang ditanggung nasabah ketika perpanjangan polis.
"Jadi tidak dari awal. Waktu perjalanannya, kalau klaimnya X dari penyakit apa itu co-payment sekian [persen]. Tapi kalau perpanjangan berikutnya lebih bagus [klaimnya], dia bisa mengurangi atau menambah [presentase] co-payment," tandas Dian.
Adapun dalam co-payment asuransi kesehatan di Indonesia, batas maksimum risiko yang ditanggung peserta asuransi adalah sebesar Rp300.000 per pengajuan klaim untuk rawat jalan dan sebesar Rp3 juta per pengajuan klaim untuk rawat inap. Angka tersebut merupakan batas maksimal meskipun 10% dari total klaim yang dicairkan nasabah lebih dari angka-angka tersebut.
"Semoga rekan-rekan [perusahaan asuransi jiwa] di Indonesia 10% saja sudah cukup untuk menekan overtreatment, untuk menigkatkan kesadaran di nasabah supaya berpikir kritis," ujarnya.
Meski demikian, SEOJK 7/2025 juga memberikan ruang kepada perusahaan asuransi untuk menetapkan total beban pembagian klaim yang harus ditanggung nasabah lebih dari Rp3 juta atau Rp300.000 selama ada kesepakatan bersama antara perusahaan dengan tertanggung.
Dian melihat batasan Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap di Indonesia dirasa pas-pas saja dengan kemampuan nasabah kelas menengah. Bahkan, beberapa nasabah asuransi dari kalangan atas ada yang mampu membeli premi dalam mata uang yang lebih mahal seperti US$ dan Yen.
"Kalau dari pengalaman saya [klaim dari premi yang dibeli dengan mata uang yang lebih mahal] bisa 6-10 kali lebih mahal untuk penyakit yang sama. Jadi saya berpikir perusahaan asuransi kemungkinan besar melihat segmennya, melihat klaimnya, kemudian menentukan Rp300.000 dan Rp3 jutanya [apa perlu dinaikkan]," pungkasnya.