Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Tantangan yang Menghambat Pertumbuhan Reasuransi

AAUI mengatakan perusahaan reasuransi masih minim melakukan mitigasi risiko dan lambatnya pembayaran klaim kepada ceding company.
Karyawati beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi umum di Jakarta, Rabu (24/7/2024). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi umum di Jakarta, Rabu (24/7/2024). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengungkapkan berbagai permasalahan yang menghambat pertumbuhan perusahaan reasuransi. Pasalnya, Indonesia mempunyai 8 perusahaan reasuransi, lebih banyak dibandingkan negara tetangga seperti Thailand.

Menurutnya perusahaan reasuransi masih minim melakukan mitigasi risiko dan lambatnya pembayaran klaim kepada ceding company atau perusahaan pengalihan sehingga mengakibatkan terhambatnya arus kas.

"Lamanya pembayaran kepada ceding company. Nah ceding company ini mempunyai kewajiban 30 hari setelah ada kesepakatan harus bayar ke klien. Sedangkan kita mendapatkan recovery ini bisa lebih dari 120 hari sehingga arus kas ini terganggu," katanya dalam acara Insurance Forum 2025, Rabu (16/7/2025).

Peranan investor juga berperan penting, di mana sebagai modal besar untuk membantu stabilitas keuangan perusahaan. Tanpa adanya suntikan dana, perusahaan reasuransi akan sulit menghadapi dinamika pasar.

"Tanpa ada modal fresh sama aja gitu. Kita dapet bisnis, tapi RBC-nya terganggu," ujarnya.

Selain peran investor, peran underwriter juga memengaruhi naik dan turunnya perusahaan reasuransi. Dia menilai pelaksanaan underwriting pada perusahaan asuransi masih mengalami perbedaan dalam mengambil keputusan.

"Karena underwriter ini merasa 'lho, saya punya reasuransi jadi risiko yang diklaim di buang ke asuransi," paparnya.

Kondisi tersebut, kata Budi, membuat bisnis yang tidak menguntungkan. Penjualan yang seharusnya win to win menjadi win to lose. Dalam hal ini

perusahaan reasuransi merugi.

Bahkan jika dikaitkan dengan capital flight, ada tiga sektor bisnis yang menyumbang capital flight terbesar yaitu aviasi, satelit, dan migas.

Sejalan dengan Budi, Direktur Utama PT Reasuransi Maipark Indonesia Kocu A. Hutagalung menyebut secara umum underlying retention perusahaan reasuransi sangat tinggi sebesar 80%-90% dari gross premi. Namun di Indonesia hanya sekitar 40%-50%.

"Artinya masih terlalu banyak disesikan dalam bentuk proteksi retosesi ke luar negeri,"  jelas Kocu.

Menurutnya underlying retensi yang rendah disebabkan oleh underlying risk  quality tidak memadai sehingga perusahaan membuat program retosesi yang rendah.

Bahkan beberapa perusahaan reasuransi memiliki underlying lebih rendah dari perusahaan asuransi. "Nah ini kan adalah praktik reasuransi yang mengabaikan fungsi dia sebagai pengumpul premi di dalam negeri," ungkapnya.

Dia berharap perusahaan reasuransi meningkatkan underlying risk agar mitra kerja dan klien tidak menarik premi secara besar-besaran.

"Semua orang bahkan berlomba-lomba untuk menahan premi tersebut, baik itu di perusahaan asuransi maupun di perusahaan reasuransi. Mereka akan mendapatkan margin bukan dari selisih komisi, bukan dari selisih premi, tetapi dari retensi," tandasnya

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro