Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi skema pembagian risiko atau co-payment dalam asuransi kesehatan diharapkan dapat meredam lonjakan premi asuransi kesehatan.
Kepala Departemen Klaim dan Manfaat Asuransi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Dian Budiani mencatat beberapa perusahaan asuransi jiwa dalam dua tahun terakhir ada yang telah menaikkan preminya 30% sampai 100%.
"Saya belum lihat ada yang di atas 100%. Jadi antara 30-100%, ini adalah kenaikan premi yang dibebankan kepada nasabah-nasabah," kata Dian dalam forum media gathering AAJI, dikutip Minggu (29/6/2025).
Untuk mengatasi lonjakan premi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025. Beleid ini mengatur salah satunya tentang co-payment, di mana nasabah asuransi ketika mengajukan klaim wajib menanggung 10% dari total klaim dengan batasan tertentu.
Batas maksimum risiko yang ditanggung peserta asuransi adalah sebesar Rp300.000 per pengajuan klaim untuk rawat jalan, dan sebesar Rp3 juta per pengajuan klaim untuk rawat inap.
Tidak hanya co-payment, SEOJK 7/2025 juga mengatur bahwa perusahaan asuransi yang memasarkan produk asuransi kesehatan juga wajib memiliki atau menunjuk Dewan Penasihat Medis atau Medical Advisory Board (MAB).
Baca Juga
MAB ini berwenang untuk memberikan rekomendasi tindakan medis yang diberikan oleh rumah sakit rekanan asuransi sehingga diharapkan dapat meminimalisir over utilitas tindakan medis.
"Kalau ini semua berjalan harusnya klaim over treatment harusnya turun. Kalau klaim turun artitnya repricing-nya juga menurun. Tapi tidak bisa besok, ini perjalanan. Jadi arahnya nanti klaim membaik, klaim membaik dan preminya jadi lebih terjangkau," ujarnya.
Dian mencontohkan skema co-payment di Malaysia sukses memberikan ruang kepada perusahaan asuransi untuk dapat memotong besaran premi yang dibebankan kepada nasabah asuransi kesehatan.
"Jadi kalau co-payment sekian dia bisa diskon. Kita [Indonesia] inginnya seperti itu. Jadi arahnya memang akhirnya untuk nasabah, nasabah akhirnya dibebani premi polis yang lebih rendah. Cuma tidak bisa besok, nanti kita jalani bersama-sama," tegasnya.
Selain co-payment dan MAB, SEOJK 7/2025 juga mengatur standar SDM yang wajib dimiliki perusahaan asuransi, kemudian perusahana asuransi juga wajib punya teknologi pertukaran data secara digital dengan fasilitas kesehatan atau rumah sakit rekanan.
Dian menilai dari semua ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam SEOJK 7/2025, skema co-payment dianggap yang paling efektif menurunkan klaim kesehatan, yang pada akhirnya bisa mengerem laju pertumbuhan harga premi asuransi kesehatan.
"Kalau saya lihat dari sisi nasabah adalah co-payment. Kalau mau sakit [mengajukan klaim], pasti mikir dulu [lebih berhati-hati]," pungkasnya.