Bisnis.com, JAKARTA - Sebagian masyarakat masih berpandangan bahwa layanan asuransi syariah cenderung sama dengan asuransi konvensional, sehingga kerap menjadi tantangan pengembangan layanan tersebut. Fitur wakaf dalam asuransi syariah dinilai sebagai pembeda, yang membuat manfaat dirasakan bukan hanya oleh tertanggung.
Sederhananya, asuransi dikenal memiliki konsep nasabah membayarkan dana kepada perusahaan, lalu manfaat dibayarkan ketika nasabah mengalami risiko, baik kesehatan, kecelakaan, atau kematian. Menurut Head of Sharia Marketing & Business Support PT Asuransi Allianz Life Indonesia Hendra Gunawan, hal tersebut memang ada benarnya.
Meskipun begitu, Hendra menilai bahwa dalam proses pengelolaan dananya, terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Perusahaan asuransi konvensional berperan sebagai penanggung risiko atas nasabah atau tertanggung, sedangkan dalam asuransi syariah seluruh nasabah mengumpulkan dana yang digunakan jika ada nasabah mengalami risiko dan perusahaan hanya berperan sebagai pengelola.
Paradigma kesamaan kedua layanan itu menurutnya masih cukup tertanam di sebagian masyarakat, sehingga edukasi yang masif masih diperlukan. Beruntungnya, komponen pembeda antara asuransi syariah dengan konvensional dapat semakin kentara setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan Fatwa No.106/DSN-MUI/X/2016.
Fatwa itu mengatur bahwa peserta atau pemegang polis asuransi syariah dapat mengalokasikan paling banyak 45 persen manfaat asuransinya untuk wakaf. Lalu, dalam produk unit-linked, peserta asuransi syariah pun dapat mewakafkan paling banyak satu per tiga dari total manfaat investasinya.
"Kenapa fitur wakaf muncul? Karena kalau bicara wakaf biasanya yang terbesit [di kepala] adalah untuk mesjid, madrasah, makam. Sederhananya orang berpikir bahwa harus punya aset dulu yang cukup, secara finansial harus kuat karena wakaf nilainya harus besar, tapi dengan asuransi bisa wakaf tanpa menunggu memiliki aset itu," ujar Hendra belum lama ini.
Baca Juga
Dia menilai bahwa wakaf itu dapat menjadi fitur kunci untuk menarik minat masyarakat membeli asuransi syariah, selain untuk memenuhi kebutuhan proteksi. Menurutnya, masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam akan tertarik berwakaf, lalu kendala finansial untuk melakukannya dapat diatasi.
Peserta asuransi syariah dapat menyisihkan sebagian kontribusi atau preminya untuk keperluan wakaf. Hendra mencontohkan, seseorang dapat memilih polis asuransi dengan nilai pertanggungan Rp1 miliar dan mengalokasikan Rp450 juta di antaranya untuk wakaf meskipun saat ini dia belum memiliki aset sebesar itu.
"Potensi wakaf akan menjadi nilai sebenarnya atau terwujudkan ketika peserta meninggal dunia. Insya Allah kesempatan itu bisa jadi salah satu tujuan ibadah," ujarnya.
Allianz Syariah mulai meluncurkan fitur wakaf pada 2019, dan hingga saat ini potensi wakaf tercatat telah melebihi Rp24,8 miliar, yang berasal dari 4 persen pesertanya. Potensi pengembangan fitur itu masih sangat besar karena banyaknya nasabah yang belum mengaktifkan wakaf, lalu masih banyaknya masyarakat Indonesia yang belum memiliki asuransi.
"Fitur wakaf ini dampaknya besar baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini yang terus kita gencarkan dan kita lakukan untuk memaksimalkan fitur wakaf dalam produk asuransi syariah,” ujar Hendra.
Chief Marketing Officer Allianz Karin Zulkarnaen menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 meningkatkan perhatian dan minat masyarakat terhadap proteksi, khususnya asuransi kesehatan. Fitur wakaf menurutnya dapat melengkapi perlindungan yang sudah ada bagi peserta, tanpa perlu membeli polis yang berbeda.
Dia pun menilai bahwa fitur wakaf menguntungkan bagi kedua pihak, baik peserta asuransi syariah maupun perusahaan. Fitur itu dapat memfasilitasi peserta untuk saling menolong saat terjadi risiko hingga mempersiapkan ibadah saat wafat, tetapi tidak membebani keuangan perusahaan penyedia fiturnya, seperti Allianz.
"Tentunya jika peserta mendapatkan value dari polis asuransi syariah yang dimiliki, maka otomatis akan mendatangkan kepuasan tersendiri. Secara profit, fitur wakaf memang tidak meningkatkan product margin atau profit perusahaan secara langsung, tetapi fitur ini akan sangat berarti untuk bisnis yang berkelanjutan," ujar Karin kepada Bisnis, pekan lalu.
Direktur iWakaf Muhamad Yusuf menjelaskan bahwa indeks literasi wakaf di Indonesia berkisar 50,8 persen, dengan catatan indeks tertinggi ada di Provinsi Gorontalo. Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta sendiri mencatatkan indeks yang lebih rendah dari rata-rata nasional, yakni berkisar 43 persen.
Yusuf menilai bahwa kondisi tersebut menunjukkan tingginya minat wakaf masyarakat di berbagai wilayah. Keberadaan fitur wakaf dalam produk asuransi syariah dinilai dapat menjembatani kebutuhan tersebut karena berbagai mitigasi dapat terpenuhi.
"Kalau asuransi memitigasi risiko dunia, kalau wakaf memitigasi risiko akhirat. Dalam hal ini, fitur wakaf dalam asuransi dapat memberian layanan bagaimana kita menyiapkan kondisi tertentu yang di luar jangkauan kita [ibadah dan risiko]," ujar Yusuf.
Menurutnya, terdapat tiga jenis wakaf yang dapat dipilih masyarakat, yakni wakaf uang, wakaf produktif, dan wakaf langsung atau projek. Pembangunan sumur, mesjid, instalasi air bersih, yang tergolong dalam wakaf langsung merupakan yang paling banyak dipilih masyarakat Indonesia.