Bisnis.com, JAKARTA – Penerapan kebijakan BI-Fast dinilai membuat 22 Bank, yang masuk dalam uji coba tahap pertama pada Desember 2021, mampu memaksimalkan layanan lebih cepat, mudah dan murah kepada nasabah. Namun, bagaimana kesiapan Bank lain?
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan salah satu hal yang perlu dikritisi dari kebijakan itu adalah bagaimana Bank Indonesia (BI) memberi kesempatan pada bank yang belum siap secara infrastruktur.
Kendati memiliki program kerja sama sistem antarbank atau lembaga lain selain bank penyelenggara layanan, BI juga perlu melihat kesiapan bank dalam penggunaan BI-Fast.
Apalagi, lanjutnya, sistem tersebut merupakan bagian dari rencana pengembangan sistem pembayaran yang dicanangkan BI hingga 2025. Dengan demikian, menurutnya, mau tidak mau seluruh bank harus siap.
“Artinya, ada upaya khusus jika bank tidak ingin ditinggalkan oleh nasabah karena tidak memiliki fasilitas tersebut,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (24/10/2021).
Dalam implementasinya, kepesertaan BI-Fast terbuka bagi bank, lembaga selain bank, serta pihak lain, sepanjang memenuhi kriteria umum dan khusus yang telah ditetapkan.
Baca Juga
Selain itu, BI juga telah menetapkan 22 calon peserta BI-Fast tahap pertama pada Desember 2021, dan 22 calon peserta tahap kedua pada Januari 2022.
Adapun penyediaan infrastruktur BI-Fast oleh peserta dapat dilakukan secara independen, subindependen atau afiliasi, dan sharing antarpeserta sesuai dengan persyaratan.
Pada tahap awal, implementasi BI-Fast fokus pada layanan transfer kredit individual. Layanan ini akan diperluas secara bertahap mencakup layanan bulk credit, direct debit, dan request for payment.
Penetapan skema harga BI-Fast dari BI ke peserta ditetapkan Rp19 per transaksi, sementara dari peserta ke nasabah ditetapkan maksimal Rp2.500 per transaksi. Nilai ini lebih murah dibandingkan tarif sistem kliring nasional BI yang dipatok maksimum Rp2.900 per transaksi.
Amin menilai dengan biaya maksimal yang diterapkan melalui BI-Fast, bank dan industri perbankan akan mengalami penurunan pendapatan berbasis komisi atau fee based income.
Namun, sistem ini juga akan memudahkan nasabah dan memberikan kesempatan kepada bank untuk memberikan pelayanan secara lebih cepat, mudah, dan murah.
Secara terpisah, Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui bahwa kebijakan BI-Fast akan menekan biaya transaksi sistem pembayaran. Namun, hal tersebut akan membuat masyarakat untung karena harga transaksi lebih murah.
“Pendapatan bagi penyedia akan turun. Namun, masyarakat lebih untung karena lebih murah. Penyelenggaranya kalau diam saja tidak menaikkan volume transaksi, maka pendapatannya jelas turun,” ujarnya.
BI-Fast merupakan bagian dari penerapan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 untuk menyediakan infrastruktur sistem pembayaran ritel yang lebih cepat, mudah, ekonomis, serta dapat dilakukan secara waktu nyata dan 24 jam.
Layanan BI-Fast memungkinkan nasabah melakukan transfer secara daring hanya dengan informasi nomor ponsel atau alamat email penerima, selain informasi nomor rekening seperti sistem yang berlaku saat ini.
Berikut daftar 22 bank yang akan menerapkan BI Fast:
Bank Tabungan Negara (BTN)
Bank DBS Indonesia
Bank Permata
Bank Mandiri (Mandiri)
Bank Danamon Indonesia
Bank CIMB Niaga
Bank Central Asia (BCA)
Bank HSBC Indonesia
Bank UOB Indonesia
Bank Mega
Bank Negara Indonesia (BNI)
Bank Syariah Indonesia (BSI)
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Bank OCBC NISP
Bank Tabungan Negara UUS
Bank Permata UUS
Bank CIMB Niaga UUS
Bank Danamon Indonesia UUS
Bank BCA Syariah
Bank Sinarmas
Citibank
Bank Woori