Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah upaya pemenuhan ketentuan modal inti dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar. Pasalnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah menilai BPD memiliki stigma bank kecil yang tidak mampu bersaing.
“Rata-rata bank BPD memang seperti itu, di daerahnya sendiri pun BPD tidak bisa bersaing. Hanya sedikit BPD yang mampu bersaing secara nasional. Bahkan, hanya BPD Jabaryang memiliki banyak kantor cabang di luar daerahnya sendiri,” kata Piter kepada Bisnis, Senin (21/3/2022).
Dia mengatakan bahwa kebanyakan BPD memiliki dua masalah utama, yakni modal dan manajemen. Seharusnya soal manajemen sudah diselesaikan sedari lama.
Pasalnya pemberian nama BPD hanya untuk kepentingan statistik dan analisis semata. Secara bisnis, tidak ada perbedaan antara BPD dengan bank umum lain.
Menurutnya, bila BPD memiliki modal yang besar, maka bisa melakukan ragam inovasi untuk meningkatkan layanan. Dengan demikian, ini akan berdampak pada jumlah nasabah yang ikut meningkat.
“Cost of fund ditekan rendah, penyaluran kredit tinggi yang ujungnya keuntungan besar. Inovasi ini termasuk bagian dari belanja modal,” katanya, Senin (21/3/2022).
Selain permodalan, syarat lain adalah manajemen. Syarat ini dinilai menjadi kelemahan dari kebanyakan BPD. Piter melihat banyak BPD yang memiliki manajemen buruk karena terlalu sering diintervensi oleh pemilik.
“Dampak manajemen yang lemah ini adalah bank tidak mempunyai inovasi layanan, dan terlalu bergantung kepada nasabah ASN setempat, penyaluran kredit rendah, dan terkadang NPL juga tinggi,” sambungnya.
Sementara itu, secara industri, OJK mencatat penyaluran kredit BPD tumbuh 7,45 persen yoy menjadi Rp521,14 triliun dan aset naik 5,50 persen menjadi Rp877,36 triliun pada Oktober 2021. Nilai itu melebihi pertumbuhan industri yakni, 3,24 persen yoy.