Bisnis.com, JAKARTA — Nasabah PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau Wanaartha Life mendesak perseroan untuk segera memberikan kejelasan terkait skema penyelesaian pembayaran kewajiban kepada pemegang polis. Nasabah juga mempertanyakan aset keuangan perusahaan yang tidak disita negara.
Kuasa hukum nasabah Wanaartha Life Benny Wulur mengatakan, OJK telah memediasi pertemuan antara perwakilan nasabah dengan manajemen Wanaartha Life pada Kamis (2/6/2022).
"Katanya aset mereka disita Rp2 triliun lebih, sementara Wanaartha kan menghimpun dana Rp16 triliun dari sekitar 29.000 pemegang polis. Kalau yang disita kejaksaan cuma Rp2 triliun, kami pertanyakan yang Rp13 triliun ke mana, kan harusnya bisa dibayarkan ke pemegang polis. Tolong dong buat suatu skema pembayaran," ujar Benny ketika dihubungi Bisnis, Senin (6/6/2022).
Adapun dalam pertemuan tersebut, terdapat tiga tuntutan yang diajukan oleh nasabah. Pertama, nasabah diperbolehkan untuk menunjuk akuntan publik untuk melakukan audit di Wanaartha Life. Kedua, nasabah meminta untuk dilibatkan dalam penyusunan skema pembayaran.
Benny menuturkan, nasabah juga mempertanyakan kebijakan perseroan terkait skema cicilan pembayaran kewajiban kepada pemegang polis berdasarkan skala prioritas yang nilainya berkisar Rp15-Rp25 juta. Pembayaran cicilan yang diutamakan untuk lansia atau nasabah yang sakit tersebut dinilai tidak sebanding dengan besarnya premi yang dihimpun Wanaartha.
Menurut penuturannya, hingga saat ini, Wanaartha juga belum menyampaikan rencana penyehatan keuangan (RPK) yang jelas. Nasabah masih belum mendapatkan titik terang terkait skema pembayaran polis, meski manajemen perseroan telah menyampaikan tengah bernegosiasi dengan calon investor.
Baca Juga
Ketiga, nasabah juga meminta OJK untuk memantau penyelesaian kewajiban Wanaartha dan memberikan tindakan yang lebih nyata kepada perseroan.
"OJK mengatakan siap memfasilitasi agar bisa selesai antara manajemen dan nasabah berdamai dengan negosiasi. Tapi nyatanya tidak ada, makanya kami protes. Janji skema pembayaran yang kami minta tidak ada. Itu kami protes OJK bagaimana pengawasannya," kata Benny.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Riswinandi mengungkapkan bahwa Wanaartha membutuhkan suntikan modal senilai Rp16,21 triliun untuk mengembalikan posisi risk based capital (RBC) sesuai dengan ketentuan.
Per September 2021, RBC Wanaartha Life berada di posisi minus 2.018,53 persen. Kemudian, rasio kecukupan investasinya hanya sebesar 1,31 persen karena aset investasinya disita terkait perkara hukum di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan rasio likuiditasnya hanya sebesar 0,25 persen.
"Hitungan kasarnya untuk mencapai RBC 120 persen dibutuhkan dana Rp16,21 triliun. OJK telah melakukan mediasi antara pemegang polis dengan pemegang saham. Dari sisi OJK, kami meminta karena ini perusahaan asuransi ada pemegang sahamnya, keadaan ini menjadi tanggung jawab pemegang saham untuk melakukan penyetoran modal tambahan," ujar Riswinandi, Rabu (2/2/2022).
Adapun, per September 2021, perseroan tercatat memiliki 30.287 polis asuransi perorangan tradisonal dengan nilai kewajiban hingga akhir mencapai Rp11,8 triliun dan polis asuransi perorangan PAYDI atau unit link sebanyak 387 polis dengan nilai kewajiban Rp48,7 miliar.
"Kemudian utang klaim yang sudah ada sekitar Rp4,9 triliun," kata Riswinandi.
Sementara itu, nilai kewajiban dari polis asuransi kumpulan tradisional mencapai Rp83 miliar dan polis asuransi kumpulan PAYDI dengan nilai kewajiban Rp311,5 miliar.
Permasalahan Wanaartha Life bermula ketika awal 2020, perseroan melaporkan pemblokiran rekening efek oleh aparat penegak hukum dan mulai mengalami permasalahan likuiditas sehingga mengalami gagal bayar atas kewajiban kepada pemegang polis yang jatuh tempo.
Perseroan diketahui memasarkan produk WAL Invest yang menjanjikan return investasi tinggi sehingga menarik banyak pemegang polis. WAL Invest merupakan produk berjangka waktu 5 tahun dengan fitur nilai tunai yang dapat dicairkan dalam jangka waktu 3 bulanan. Banyaknya polis WAL Invest yang jatuh tempo dan permintaan nilai tunai, serta pemblokiran aset menyebabkan RBC dan ekuitas perseroan tidak lagi memenuhi ketentuan.