Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Digital, Antara Jor-joran Salurkan Pinjaman & Kemampuan Meraup Deposito

"Bank digital harus memberi edukasi dan membangun kesadaran masyarakat, dibantu juga oleh regulator.”
Karyawan beraktivitas di salah satu kantor cabang Bank Neo Commerce di Jakarta, Rabu (5/1/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan beraktivitas di salah satu kantor cabang Bank Neo Commerce di Jakarta, Rabu (5/1/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Tingginya rasio pinjaman terhadap dana simpanan (loan to deposits ratio/LDR) menjadi salah satu tanda bahwa bank digital masih kesulitan dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK) seperti tabungan hingga deposito. Bank digital perlu menghadirkan usaha lebih agar masyarakat tertarik menaruh uang di aplikasi mereka.

Merujuk pada laporan keuangan sejumlah bank digita yang telah dipublikasi, LDR Bank Jago pada kuartal II/2022 tercatat berada pada level 118,98 persen. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan Desember 2021 yang saat itu level LDR berada di posisi 146,02 persen dan Juni 2021 yang sebesar 124 persen.

Pada semester I/2022, secara konsolidasi Bank Jago diketahui telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp7,25 triliun. Sementara itu dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun pada periode tersebut sebesar Rp6,09 triliun.

Adapun jika dibandingkan dengan beberapa bank digital lainnya, Bank Jago menjadi yang tertinggi. Sebagai gambaran, per Juni 2022 LDR PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) berada di level 66,64 persen, LDR PT Bank Digital BCA mencapai 41,52 persen, dan PT Bank Seabank Indonesia mencapai 88,42 persen.

Pengamat Ekonomi Perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan dari LDR dapat terlihat dua golongan nasabah yaitu, nasabah yang menyimpan uang di bank dan nasabah yang meminjam uang di bank.

Jika rasio uang yang dipinjam lebih banyak dibandingkan dengan yang disimpan di bank, maka bank tersebut perlu memikirkan strategi agar nasabah tertarik menyimpan dana di bank digital tersebut.

Adapun menurut Doddy, idealnya rasio LDR berada pada kisaran sekitar 78 persen - 92 persen atau sesuai yang diatur oleh Bank Indonesia.

“Jika melihat fenomena tersebut, nasabah Indonesia masih percaya menaruh uang di bank konvensional. Jika meminjam uang, mereka mau saja menerima dari siapapun,” kata Doddy, Rabu (10/8/2022).

Doddy menduga alasan nasabah memiliki menaruh uang di bank konvensional, karena secara fisik, bank konvensional dapat terlihat jelas oleh nasabah. Merujuk data sebuah riset pada 2018, masyarakat Indonesia dikategorikan sebagai konvensional physical.

Artinya, masyarakat inginnya berbicara dengan manusia (bankir) saat hendak menyimpan uang. Kondisi tersebut juga terjadi di Malaysia dan Meksiko. Berbeda dengan Singapura dan China yang masyarakatnya lebih memikirkan tentang efisiensi.

Dengan kondisi tersebut, bank digital di Indonesia masih dalam tahap dapat menjangkau nasabah, belum mencapai tahap dapat meyakinkan nasabah dalam menyimpan uang.

“Alamiah karakter manusia pilih-pilih dalam menaruh uang. Jadi butuh edukasi dan perubahan paradigma. Pada awalnya mereka mungkin harus kasih gimmick (untuk menarik DPK),” kata Doddy.

Doddy mengatakan meski jumlah pinjaman yang disalurkan lebih tinggi dibandingkan yang disimpan, bagi bank digital mungkin masih nampak wajar karena industri bank digital di Indonesia baru berdiri pada 2010 ke atas.

Bank Digital masih berada pada fase awal. Berbeda dengan bank konvensional yang sudah hadir sejak lama dan industrinya sudah lebih matang.

“Butuh waktu. Bank digital harus memberi edukasi dan membangun kesadaran masyarakat, dibantu juga oleh regulator,” kata Doddy.

Edukasi oleh bank digital harus dilakukan dengan cepat. Pasalnya, bank-bank konvensional saat ini juga makin gencar dalam melakukan penetrasi ke digital.

Bank konvensional sudah menghadirkan layanan-layanan pokok perbankan, bahkan terkadang lebih bagus dari bank digital.

“Bank kecil ini punya keunggulan apa jika sudah itu? Nasabah akan berpikir jika BCA, Mandiri, BRI dan BNI punya platform digital, buat apa saya menabung di bank digital X,” kata Doddy.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan jika bank memiliki LDR di atas 100 persen, maka bank tersebut kemungkinan menggunakan modal yang dimiliki untuk menyalurkan pembiayaan.

Kondisi tersebut sah-sah saja selama bank dapat menjamin likuiditas di dalam perusahaan, terlebih di tengah kondisi yang tidak stabil dan inflasi tinggi.

“Takutnya nanti justru bank bermasalah likuiditasnya ketika ada pengambilan dana yang cukup tinggi dari nasabah. Karena situasi saat ini kurang stabil, inflasi tinggi, tentu ada penarikkan dana dari masyarakat untuk memenuhi lonjakan harga-harga,” kata Abdul.

Abdul juga mengatakan LDR tinggi di tengah kondisi inflasi akan menjadi tantangan bagi perbankan digital yang berdiri sendiri. Adapun bagi bank yang memiliki induk bank besar, menurutnya, tidak terlalu bermasalah.

Dia memperkirakan gencarnya bank digital dalam menyalurkan kredit pada semester I/2022 didorong oleh kondisi seasonal tahun ajaran baru sekolah. Nasabah banyak yang butuh uang untuk biaya pendidikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper