Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank BTPN Syariah Tbk. (BTPS) memilih tak menaikan suku bunga pinjaman di tengah kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sebab, pasar ultramikro yang disasar BTPN Syariah membutuhkan penentuan suku bunga kredit yang sederhana.
BI telah hari ini telah mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen. Dua bulan sebelumnya BI juga telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps.
Direktur BTPN Syariah Fachmy Achmad mengatakan dengan adanya kenaikan suku bunga acuan dari BI, besaran suku bunga pinjaman ke nasabah tidak akan berubah.
"Karena nasabah ultramikro rata-rata menginginkan margin yang angkanya simpel," ujarnya pada media briefing BTPN Syariah, Kamis (20/10/2022).
Menurutnya, apabila BTPN Syariah menaik turunkan suku bunga kredit, nasabah yang kebanyakan dari segmen ultramikro itu akan kebingungan.
Dengan tidak menaikan suku bunga,lanjutnya, yield perusahaan pun tak berubah banyak. Meski demikian, dia tak menampik cost of fund akan terdampak.
Baca Juga
"Namun, saat suku bunga acuan naik, ekonomi kemungkinan pulih, saat itu cost of credit kita lebih baik atau berkurang," ujarnya.
Kenaikan suku bunga acuan juga akan memengaruhi Net Interest Margin (NIM). Namun, BTPN Syariah bisa mengendalikannya karena likuiditas aset yang juga terdorong naik.
Fachmy mengatakan berdasarkan analisa perusahaan, segmen ultramikro lebih kebal terhadap gejolak indikator makro. Salah satu yang bisa memberikan dampak besar bagi segmen ultramikro adalah bencana.
"Jadi pas pandemi Covid-19, cost of credit kita besar sekali," ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19 – 20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan, suku bunga deposit facility ikut naik 50 bps menjadi 4,00 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi 5,50 persen.
Dia menjelaskan upaya itu merupakan langkah front loaded, preemptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke sasaran 2–4 persen lebih awal pada semester I/2023.
Selain itu, Perry juga memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat penguatan dolar Amerika Serikat atau AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.