Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ardhienus

Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Ardhienus adalah Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan di Bank Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Upaya Mencegah BPD Turun Kelas

Tahun depan, tepatnya 31 Desember 2024, gilirannya kelompok bank milik pemerintah daerah alias Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang harus memenuhi modal inti mini
Ilustrasi bank. /Freepik
Ilustrasi bank. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Awal tahun 2023 bank umum yang beroperasi di Indonesia berkurang satu. Ini terjadi setelah satu bank umum swasta nasional (BUSN), yaitu Bank Prima Master, turun kelas menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).

Setelah tenggat waktu 30 Desember 2022, bank kecil tersebut tidak mampu mendongkrak modal inti minimum menjadi Rp3 triliun. Alhasil, menurut regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) status bank harus turun menjadi BPR.

Keputusan yang dikeluarkan OJK pada 4 Januari 2023 merupakan bentuk langkah tegas OJK untuk secara konsisten mengawal kebijakan penguatan permodalan, kinerja dan konsolidasi perbankan, sehingga dapat meningkatkan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Tahun depan, tepatnya 31 Desember 2024, gilirannya kelompok bank milik pemerintah daerah alias Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang harus memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 triliun.

Tentu kewajiban ini patut dicermati. Pasalnya, mengacu Laporan Keuangan Publikasi posisi 30 September 2022 diketahui sebanyak 14 dari 28 BPD atau separuhnya ternyata memiliki modal inti minimum kurang dari Rp3 triliun.

Bahkan, 12 BPD diantaranya memiliki modal inti minimumnya dibawah Rp2 triliun. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi pengurus BPD dan pemerintah daerah sebagai pemegang saham untuk memenuhi ketentuan OJK tersebut.

Masih ada waktu 2 tahun bagi keduanya untuk mencegah BPD turun kelas menjadi BPR. Kendati begitu, sejatinya masih banyaknya modal BPD yang rendah hanyalah sebagian dari tantangan yang harus dihadapi BPD secara umum.

Ada beberapa hal lagi yang patut kita cermati. Merujuk data Bank Indonesia posisi Desember 2022, porsi BPD dalam perbankan nasional baik dari sisi aset, penyaluran kredit dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) masih terbilang rendah. Dan kondisi ini relatif tidak banyak berubah semenjak lebih dari satu dekade ter­akhir.

Sebagai misal dari sisi aset. Porsi aset BPD terhadap industri perbankan tidak banyak bergerak dari kisaran 8%—9%. Apabila dilihat dari sisi individu BPD, hanya Bank Jabar Banten (BJB) yang porsi asetnya sedikit lebih baik yaitu di atas 1% dari industri perbankan. Sisanya berkutat antara 0,07%—0,99%.

Sementara dari sisi penyaluran kredit juga tidak lebih dari 9%. Selain rendah, penyaluran kredit juga didominasi oleh kredit konsumsi, khususnya kredit perseorangan kepada pegawai ASN di berbagai institusi pemerintahan daerah.

Padahal, menyandang kata “Pembangunan” dalam penamaan BPD tentu mengandung arti bahwa kredit yang disalurkan harus lebih banyak dalam bentuk kredit produktif, yaitu kredit investasi dan modal kerja. Parahnya, ada beberapa BPD yang porsi kredit konsumsinya di atas 90%.

Menyalurkan kredit konsumsi kepada pegawai memang bisnis yang menggiurkan. Margin kredit pegawai tebal dengan risiko yang sangat rendah karena pembayaran angsuran kredit langsung dipotong pada rekening gaji pegawai yang bersangkutan di bank tersebut. Hanya saja strategi BPD ini tidak sesuai dengan ketentuan yang melahirkan BPD.

Dalam Undang-Undang Nomor13 tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, secara jelas menyebutkan bahwa tujuan pembentukan BPD adalah menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah dalam rangka Pembangunan Nasional.

Untuk melaksanakan maksud tersebut, BPD memberikan pinjaman untuk keperluan investasi, perluasan dan pembangunan proyek-proyek pembangunan daerah baik yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah (Pemda) maupun yang diselenggarakan oleh Perusahaan-perusahaan campuran antara Pemda dan Swasta.

Begitu pula dengan penghimpunan DPK yang berkisar antara 8%—9%. DPK BPD ternyata masih relatif mengandalkan dana pemda. Sementara struktur DPK didominasi deposito yang berbiaya mahal dan ini berimbas pada bunga kredit yang akan tinggi.

Oleh karena itu, upaya untuk menguatkan kapasitas BPD agar terhindar dari penurunan status menjadi BPR dapat dilakukan sebagai berikut. Pertama, BPD sebaiknya menahan laba yang diperoleh mulai tahun 2022 hingga 2024.

Artinya, selama tiga tahun BPD tidak perlu membagikan deviden. Dengan begitu, laba yang ditahan akan meningkatkan modal inti. Apabila dirasakan masih kurang, pemda dapat menginjeksi tambahan modal dengan jumlah yang sudah barang tentu tidak akan besar lagi.

Kedua, BPD perlu melakukan konsolidasi, baik dalam bentuk merger, akuisisi maupun kelompok usaha bersama (KUB). Konsolidasi tersebut dapat dibagi dalam lima kluster seperti kluster Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Balinustra dan Papua.

Ketiga, BPD perlu mengupayakan untuk privatisasi seperti yang telah dilakukan tiga BPD lainnya yaitu Bank Jabar Banten, BPD Jatim dan BPD Banten. Pasalnya, melantai di bursa memungkinkan banyak perbaikan dalam tubuh BPD seperti permodalan, tata kelola, transparansi dan pembentukan ekosistem.

Secara umum, kinerja BPD yang telah go public lebih baik dibandingkan dengan yang masih dalam bentuk perusahaan tertutup. Upaya BPD Sumut menawarkan sahamnya ke publik pada tahun ini patut dicontoh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ardhienus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper