Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentil industri perbankan untuk secara nyata memberikan dukungan terhadap upaya hilirisasi komoditas. Namun, perbankan menghadapi sejumlah kendala.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa pengembangan hilirisasi komoditas itu mempunyai kebutuhan dana yang banyak. “Harus disadari bahwa smelter itu membutuhkan dana minimal Rp5 triliun sampai belasan triliun per smelter,” katanya dalam acara pertemuan tahunan industri jasa keuangan (PTIJK) 2023 pada Senin (6/2/2023).
Pengembangan hilirisasi, seperti dengan membangun smelter juga menurutnya mesti satu paket bersama pembangkit tenaga listrik. “Akan tetapi, pembangkit dari PLN saja tidak akan mencukupi, jadi diambil batu bara,” ujar Jahja.
Sementara itu, perbankan asing hanya mau memberikan pembiayaan dengan bunga yang murah untuk smelter produk, tidak untuk batu bara. “Tugas bagi bank lokal jadinya berat,” ungkapnya.
Di sisi lain, kondisi ini membuat bank dilematis karena bank mempunyai tanggung jawab terhadap prinsip environmental, social, and corporate governance (ESG). “Meski saya sangat dukung ESG, tapi pada case-case tertentu kami mau tidak mau harus salurkan pembiayaan ke sektor itu [batu bara],” katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi menjelaskan bahwa secara porsinya, pembiayaan hilirisasi memang belum banyak disalurkan. Meski begitu, ia menyampaikan bahwa porsi pembiayaan hilirisasi akan terus bertumbuh sejalan dengan keseriusan pemerintah menggenjot investasi dalam upaya memperkuat hilirisasi industri.
Baca Juga
"Kami sangat menyambut baik apabila ada terobosan investasi baru tentunya akan melalui semua proses yang merupakan best practice yang sudah kita jalankan selama ini karena kita ingin setiap portfolio yang kita masukkan ke Bank Mandiri akan merupakan portofolio yang sehat," ungkap Darmawan dalam konferensi pers Mandiri Investment Forum 2023 di Jakarta, bulan lalu (31/1/2023).
Bank Mandiri menyampaikan bahwa pihaknya tidak hanya memfasilitasi investasi hilirisasi saja, melainkan termasuk juga value chain di bawahnya hingga sampai ke segmen yang paling bawah diantaranya micro banking, consumer, dan small medium enterprise (SME).
Ke depan, dalam proses penyaluran pembiayaan tersebut, BMRI akan secara selektif menilai bisnis model dari setiap proposal yang ada sehingga mampu memberi nilai tambah baik untuk Bank Mandiri maupun kemajuan.
Sementara, Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) Aestika Oryza Gunarto mengatakan bahwa BRI juga akan terus mendukung program hilirisasi sejalan dengan himbauan dari pemerintah. Saat ini BRI telah turut serta dalam pemberian pembiayaan kepada beberapa perusahaan smelter nikel dan copper melalui skema pembiayaan sindikasi. Beberapa potensial smelter saat ini juga sudah terdapat dalam pipeline pembiayaan BRI.
“Secara teknis, dalam setiap melakukan analisis pembiayaan, BRI selalu mempertimbangkan kegiatan bisnis yang feasible, dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip prudential banking, kehati-hatian, dan good corporate governance,” ungkap Aestika.
Sementara, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan bahwa berbagai kendala memang dihadapi oleh perbankan dalam menyalurkan pembiayaan terkait proyek hilirisasi. “Jumlahnya cukup besar, tingkat ketidakpastian tinggi, kemudian prosesnya juga jangka panjang. Ini menjadi pertimbangan bank-bank besar, terutama bank Himbara belum banyak membiayai proyek hilirisasi,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya belum ada jaminan dari pemerintah terkait masa depan dari proyek ini menjadi kendala bagi perbankan. “Jadinya mereka ragu-ragu ambil peran,” tutur Amin.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah juga mengatakan bahwa bagi bank, pembiayaan industri hilirisasi adalah sesuatu yang berisiko. “Bank juga tidak cukup mengenal industri ini. Bank belum punya pengalaman bagaimana memitigasi risikonya,” ungkap Piter.
Sebagaimana diketahui, pemerintah belakangan tengah bertekad menjadikan indonesia sebagai pemain utama dalam industri hilirisasi global. Namun, Presiden Jokowi mengatakan bahwa industri hilirisasi ini membutuhkan pembiayaan yang besar.
"Saya minta betul-betul diberi dukungan yang konkret [kepada perbankan] karena saya dengar yang mau bikin smelter saja kesulitan mencari pendanaan," ujar Jokowi di acara PTIJK 2023.
Kendati demikian, Jokowi meminta agar dukungan pendanaan terhadap pembangunan smelter ke depan dapat diberikan dengan tetap menerapkan kalkulasi serta kehati-hatian yang tinggi.
"Hilirisasi menjadi kunci bagi negara ini kalau kita ingin menjadi negara maju. [Terapkan hilirisasi] di semua komoditas, baik untuk yang namanya CPO, Minerba, hingga yang berasal dari sumber daya alam laut kita," tambahnya. Jokowi menekankan bahwa hilirisasi kian dipandang penting dalam mendorong pendapatan domestik bruto (PDB) nasional untuk dapat terus tumbuh.
"Saya sudah sering menjelaskan, minerba dan gas itu dari yang namanya nikel saja lompatan kita dari US$1,1 bilion melompat menjadi US$30 bilion setelah ada hilirisasi," terang Jokowi saat menyoroti potensi besar dari hilirisasi.
Lebih lanjut, Jokowi juga memproyeksikan bahwa dampak hilirisasi dari sektor minerba, migas, dan kelautan dapat menyentuh angka US$715 juta. Di samping itu, lapangan kerja baru yang terbangun dapat mencapai 9,6 juta. "Dan saya minta dukungan OJK [Otoritas Jasa Keuangan] mengenai ini, bagaimana memberikan sosialisasi pentingnya hilirisansi," tutupnya.