Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) percaya diri perbankan Indonesia tak akan terlalu terdampak atas bangkrutnya sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) seperti Silicon Valley Bank atau SVB, sebab kondisi fundamental perbankan tercatat stabil pada awal tahun ini.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan publik di Indonesia tidak perlu khawatir atas bangkrutnya bank-bank di AS. “Masyarakat tidak usah khawatir, kami terus mencermati potensi dampaknya bagi ekonomi dan pasar keuangan AS serta dampak rambatannya ke Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Senin (20/3/2023).
Menurut Yudhi, kondisi fundamental industri perbankan nasional masih sangat stabil dilihat dari beberapa indikator. Rasio kecukupan permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) bank secara nasional berada di level 25,93 persen per Januari 2023.
Rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan rasio alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) masing-masing berada di level 129,64 persen dan 29,13 persen per Januari 2023.
"Angka ini sudah jauh di atas threshold dan menunjukkan bahwa perbankan kita masih dalam kondisi yang sangat memadai," ujar Yudhi.
Pada sisi intermediasi, penyaluran kredit perbankan pada Januari 2023 tumbuh sebesar 10,53 persen secara tahunan (year on year/yoy). Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sekitar 8,03 persen yoy per Januari. Yudhi mengatakan kondisi intermediasi ini menunjukkan bahwa dana yang ada di sistem perbankan secara gradual tersalurkan ke sektor riil.
Baca Juga
Kemudian, LPS juga memastikan cakupan penjamin simpanan berada pada level yang sangat memadai. Berdasarkan data Januari 2023, jumlah rekening nasabah bank umum yang dijamin seluruh simpanannya ialah 99,93 persen dari total rekening. Jumlah itu setara dengan 506,23 juta rekening.
"Cakupan simpanan perbankan tersebut nilainya berada di atas amanat Undang-Undang LPS," kata Purbaya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae juga mengatakan penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.
“Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” kata Dian dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mengatakan kasus bangkrutnya bank-bank di AS tidak akan berdampak langsung terhadap pasar keuangan Indonesia. Namun, menurutnya ada pelajaran penting yang dapat diambil oleh perbankan dalam negeri.
Dia menjelaskan kolapsnya bank-bank di AS, seperti SVB menunjukkan bahwa model bisnis yang dijalankan tidak stabil dan sangat rentan. Hal ini terlihat dari produk simpanannya yang hanya terkonsentrasi pada deposan-deposan besar.
“Konsentrasi simpanannya 93 persen adalah deposan besar dan juga dalam klaster yang sama, yaitu berkaitan dengan startup maupun perusahaan teknologi finansial,” tutur Perry.
Sementara itu, dari sisi aset, Perry menuturkan bahwa penempatan dana sebagian besar berada dalam surat-surat berharga khususnya pemerintah.
Meski berisiko rendah, masih terdapat risiko valuasi lantaran efek yang dipegang tersedia untuk dijual atau available for sale securities.
Dengan demikian, lanjutnya, efek yang dipegang oleh bank-bank tersebut terkena valuasi marked to market dan hanya sebagian kecil yang investasi berakhir hingga jatuh tempo atau biasa disebut held to maturity securities.
“Itu sehingga kenapa kemudian terjadi loss dalam valuasi efek, karena suku bunga The Fed naik, US Treasury naik, sehingga harganya turun dan terjadi negatif valuasi dari surat-surat berharganya. Negatif valuasi ini yang kemudian menggerogoti modalnya,” kata Perry.
Adapun, kerugian modal itu yang membuat SVB harus bersusah payah menambah modal. Sebagaimana diketahui, SVB runtuh setelah saham bank ini anjlok 66 persen dan gagal mendapatkan tambahan dana sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.
Gejolak SVB dimulai saat bank ini mengumumkan kerugian besar dalam penjualan sekuritas. Akibatnya, kekhawatiran muncul di antara perusahaan modal ventura atau deposan, yang menarik seluruh uang secara besar-besaran dari SVB.
“Bank yang berada di California kemudian diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation [FDIC]. Bacaan kami, langkah-langkah yang diambil FDIC bisa mengatasi dari permasalahan tiga bank ini,” pungkasnya.
Oleh karena itu, Perry menyimpulkan bahwa pelajaran yang dapat diambil dari kolapsnya tiga bank di AS adalah terkait dengan konsentrasi deposan, kerugian dari sekuritas, dan ketidakseimbangan aset liabilitas dinilai menjadi penyebab kegagalan tiga bank tersebut.