Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BBRI Sunarso menjelaskan adanya pembelajaran dari kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS).
Dia mengatakan krisis perbankan global seperti SVB di AS hingga Credit Suisse di Eropa memberi sentimen negatif ke bank domestik. Namun, menurutnya kondisi perbankan di Indonesia relatif stabil.
Sementara itu, berkaca pada kasus bangkrutnya SVB tersebut, Sunarso menjelaskan ada lima pembelajaran yang bisa diambil oleh perbankan nasional. Pertama, terkait dengan reputation risk.
"Menurut analisis kami, berita terkait penjualan saham perusahaan oleh petinggi SVB, berita terkait unrealized loss surat berharga itu sangat berpengaruh," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bank-bank BUMN dengan Komisi VI DPR pada Selasa (28/3/2023).
Kedua, terkait liquidity risk. "Mereka [SVB] tidak punya likuiditas memadai untuk kebutuhan jangka pendek," kata Sunarso.
Berkaca pada kasus SVB, penting bagi bank dalam mengelola maturity asetnya agar tidak terjadi mismatch.
Baca Juga
Ketiga, pembelajaran terhadap market risk. Dampak kenaikan fed fund rate (FFR) dari 0,25 persen menjadi 4,75 persen menyebabkan unrealized loss naik. "Jadi aset-aset mereka [SVB] berpotensi rugi. Potensi ruginya 15,4 persen terhadap modal," kata Sunarso.
Pembelajaran keempat, terkait dengan concentration risk. Nasabah SVB sendiri terkonsentrasi di sektor startup dan teknologi. "Makanya kami tidak mau kumpulkan portofolio di satu keranjang saja, karena ini bahaya," katanya.
Kelima, tidak tersedianya fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dari regulator. Kemudian, terjadinya kelonggaran terhadap kewajiban liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR).
Sebagaimana diketahui, industri perbankan di AS sedang dilanda guncangan. SVB dilaporkan bangkrut usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.
Bangkrutnya SVB terimbas kenaikan suku bunga secara agresif. The Fed menaikkan suku bunga acuan sejak tahun lalu untuk menekan lonjakan inflasi. Kenaikan suku bunga merupakan momok menakutkan bagi perusahaan rintisan.
Pemodal berpaling untuk menambah investasi di startup. Akibatnya, perusahaan menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas.
Bank yang didirikan pada 1983 itu memang memiliki spesialisasi pembiayaan ke startup berbasis teknologi. Portofolio separuhnya dialokasikan ke startup dan layanan kesehatan Amerika.
Sebelum bangkrutnya SVB, Silvergate Capital Corp., juga telah mengatakan akan melikuidasi banknya yang menyimpan dana kripto sebagai imbas dari kehancuran industri kripto.
Kepanikan di industri keuangan AS tidak berhenti di situ, sebab regulator bank AS kemudian mengumumkan penutupan Signature Bank setelah bangkrutnya SVB.
Tidak hanya di AS, sentimen negatif merembet ke pasar Eropa setelah Credit Suisse mengalami gejolak. Saham Credit Suisse Group AG ditutup melemah bahkan sempat anjlok ke level terendah sepanjang masa.
Bank Sentral Swiss kemudian memberikan bantuan likuiditas kepada Credit Suisse Group AG setelah sahamnya anjlok. Credit Suisse Gorup AG sendiri telah menarik pinjaman senilai US$54 miliar atau Rp833 triliun dari Bank Sentral Swiss.