Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat setidaknya 6 hingga 7 bank perekonomian rakyat (BPR/BPR Syariah) gugur setiap tahunnya.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan bahwa tren menurunnya jumlah industri BPR/BPRS tersebut terjadi di luar kondisi perekonomian nasional.
Pasalnya, tren penurunan BPR/BPRS rutin terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda. LPS mencatat, problematikan fraud masih menjadi faktor utama yang mendorong pengikisan eksistensi industri BPR/BPRS di tanah air.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Teddy Alamsyah mengakui bahwa keberadaan BPR/BPRS memang mengalami penyusutan setiap tahunnya. Hanya saja, dia menilai tren tersebut didorong oleh faktor konsolidasi yang dilakukan oleh sejumlah pelaku industri.
Seiring dengan hal tersebut, Tedy menambahkan, berkurangnya jumlah BPR/BPRS patut dipandang positif sebagai bagian dari tuntutan bisnis untuk dapat tumbuh dan berkembang serta mampu bersaing dengan pelaku usaha industri jasa keuangan lainnya.
"Rasanya kurang tepat, bila dikatakan bangkrut, semua yang di merger dalam kondisi sehat dan tidak bermasalah. Bila ada masalah, biasanya akibat dampak pandemi yang masih dalam proses untuk diselesaikan," jelasnya kepada Bisnis, dikutip Rabu (7/6/2023).
Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyoroti sejumlah tantangan yang akan dihadapi oleh BPR/BPRS dalam mengembangkan bisnisnya.
Selain karena posisi kredit UMKM yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, model bisnis baru fintech dinilai menjadi satu hal yang perlu mendapat perhatian.
Baca Juga : 32 BPR di Bali Belum Penuhi Modal Inti |
---|
"Ada banyak model bisnis baru fintech, karena mereka dapat memberikan pinjaman tanpa harus bersinggungan dengan nasabah dan hanya melalui mekanisme online. Nah, pinjol-pinjol itu bisa menjadi pesaing terdekat dari BPR," terangnya.
Oleh karena itu, untuk dapat terus mengepakkan sayap bisnisnya, BPR/BPRS nasional perlu menerapkan tata kelola bisnis yang baik melalui penerapan good corporate governance dan risk and compliance.
Utak-Atik regulasi BPR/BPRS
Keseriusan pemerintah memoles citra dan kinerja BPR/BPRS tercermin dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Terbaru, untuk semakin menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap industri BPR/BPRS, nomenklatur BPR yang semula merupakan Bank Perkreditan Rakyat diubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat.
Perubahan nama tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Baca Juga : Jumlah BPR Susut 15 Bank dalam 3 Bulan, Ada Apa? |
---|
"Rebranding Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat diharapkan bisa mengangkat perekonomian masyarakat sekitar. Di mana, BPR beroperasi dan kemudian konsepnya tak lagi sekedar intermediasi yang saat ini dijalankan, tetapi juga akan lebih meningkatkan berbagai macam produk dan turunan produk lainnya," jelas Amin.
Di samping itu, UU PPSK juga membuka ruang bagi bank perekonomian rakyat untuk meningkatkan modal melalui initial public offering (IPO). Seiring dengan hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menuturkan bahwa pihaknya saat ini tengah berancang-ancang menyiapkan serangkaian aturan baru.
"Dari namanya saja sudah berubah, jadi bank perekonomian rakyat, kemudian diberikan kewenangan listing," katanya dalam rapat dewan komisioner (RDK) OJK pada Selasa (6/6/2023).
Untuk itu, OJK saat ini sedang melakukan kajian ulang atau rewriting terhadap kebijakan tersebut untukmemastikan apa yang dicantumkan dalam UU PPSK bisa diimplementasikan untuk kemajuan BPR.
Baca Juga : BPR di Bali Bidik Bisnis Valuta Asing |
---|
"Di dalam konteks apakah BPR bisa listing dan ikut sistem pembayaran dengan kriteria tertentu, kami sedang godok aturan itu. Tidak terlalu lama kami keluarkan," ujar Dian.
Untuk diketahui, berdasarkan laporan Statistik Perbankan OJK, terdapat 1.426 BPR di Indonesia per Maret 2023. Jumlahnya susut 15 entitas jika dibandingkan dengan posisi 31 Desember 2022 sebesar 1.441.
Meskipun jumlahnya susut, aset BPR di Indonesia tumbuh 6,39 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp181,6 triliun pada Maret 2023. BPR sendiri telah menyalurkan kredit Rp132,6 triliun pada Maret 2023, naik 9,76 persen yoy. Dana pihak ketiga (DPK) BPR juga naik 6,21 persen yoy menjadi Rp127,08 triliun pada Maret 2023.